Kamis, 10 Maret 2011

PostHeaderIcon Bab 4: The Seven Potter (Tujuh Orang Potter)



Harry berlari kembali ke kamarnya, melihat mobil keluarga Dursley melalui
jendela kamarnya. Ia dapat melihat ujung topi Dedalus di antara kepala bibi
Petunia dan Dudley
di kursi belakang. Mobil itu berbelok ke kanan di ujung
jalan Privet Drive
, jendelanya memantulkan cahaya kemerahan dari matahari
yang mulai terbenam, lalu mobil itu tak tampak lagi.
Harry mengambil sangkar Hedwig, Firebolt, dan ranselnya. Untuk terakhir kali
ia melihat kamarnya yang, tidak seperti biasanya, terlihat rapi dan kembali ke
ruang tamu dengan rasa enggan. Lalu ia meletakkan sangkar, sapu, dan tasnya di
ujung tangga. Cahaya matahari di luar mulai menghilang membuat ruang tamu
dipenuhi engan bayangan di bawah terangnya malam. Rasanya aneh berdiri di
sana
dalam diam dan tahu bahwa ia akan meninggalkan rumah itu untuk
selamanya. Dulu, ia sangat menikmati saat ditinggal keluarga Dursley sendirian
di rumah, suatu hal yang jarang terjadi. Mengenang saat mengambil sesuatu
yang enak di kulkas dan menikmatinya sambil memainkan komputer Dudley
, atau
menonton televisi dan mengubah saluran sesuka hati. Hal ini membuatnya
merasakan suatu hal yang aneh saat ia mengingat saatsaat itu, seperti
mengenang saudara yang sudah tiada.

"Tidak inginkah kau melihat tempat ini untuk terakhir kalinya?" tanya Harry
pada Hedwig, yang masih menyembunyikan kepalanya di bawah sayap. "Kita tak
akan pernah kembali ke sini lagi. Apakah kau tak ingin mengenang masa lalu?
Maksudku, lihatlah keset itu. Dudley muntah di sana
sesaat setelah aku
menyelamatkannya dari Dementor, dan dia berterima kasih padaku, percayakah
kau? Dan, musim panas lalu, Dumbledore datang kemari…"
Namun Harry tidak dapat mengingat kelanjutannya dan Hedwig tidak
membantunya, ia tetap diam dengan kepala di bawah sayap. Harry berjalan di
lorong.
"Dan di bawah sini, Hedwig," Harry membuka pintu ruang bawah tangga, "dulu
aku tidur di sini! Kau belum bertemu denganku saat itu… Ya Tuhan, kecil sekali,
aku tak ingat..." PDF by Kang Zusi
Harry melihat setumpuk sepatu dan payung di sana
, mengingat bagaimana dulu
ia terbangun di pagi hari dan langsung melihat bagian dalam dari tangga, yang
biasanya dihiasi oleh sarang laba-laba. Hari-hari di saat sebelum ia tahu siapa
dirinya sebenarnya, sebelum ia benar-benar tahu bagaimana orang tuanya
meninggal, atau sebelum ia mengerti mengapa banyak kejadian aneh terjadi di
sekitarnya. Namun Harry masih bisa mengingat jelas mimpi yang selalu
menghantuinya, bahkan hingga saat ini. Mimpi yang membingungkan tentang
kilatan cahaya berwarna hijau, dan mimpi – yang membuat paman Vernon
hampir menabrakkan mobilnya saat Harry bercerita – tentang sepeda motor
terbang…
Tiba-tiba terdengar deru suara yang memekakkan telinga. Harry langsung
mengangkat kepalanya dan membuatnya terantuk kusen pintu yang rendah. Ia
menahan suara saat ia hampir memakai sumpah serapah yang biasa paman
Vernon
katakan. Ia berjalan sempoyongan ke arah dapur. Sambil memegangi
kepalanya ia melihat melalui jendela ke arah halaman belakang.
Kegelapan sepertinya dapat bersuara, bahkan udara pun bergetar. Lalu, satu
persatu sosok muncul. Terlihat Hagrid dengan helm dan kacamatanya, ia duduk
di atas sepeda motor yang sangat besar, di sebelahnya tampak gandengan motor
hitam berkilat. Diikuti oleh orang-orang yang turun dari sapu mereka, juga dua
ekor kuda tengkorak berwarna hitam. Harry membuka pintu belakang dan
bergegas mendatangi mereka. Terdengar isakan Hermione yang langsung
mengalungkan tangannya pada Harry, dan Ron menepuk punggungnya, dan Hagrid
berkata, "Smua baik, Harry? Siap tuk brangkat?"
"Tentu saja," kata Harry, sambil melihat semua orang yang ada di sana
. "Tapi
aku tidak tahu akan begitu banyak orang yang akan datang!"
"Perubahan rencana," geram Mad-Eye, yang sedang memegangi dua buah
kantung yang sangat besar, dan mata sihirnya berputar sangat cepat saat
melihat langit gelap, rumah, lalu kebun. "Ayo masuk supaya aku bisa
menjelaskannya padamu."
Harry mengajak mereka masuk ke dapur di mana mereka langsung mengobrol
dan bercanda, duduk di kursi atau di atas meja masak bibi Petunia yang berkilau
atau bersandar di lemari yang tanpa noda. Ron yang tinggi kurus. Hermione
dengan rambut panjang dan tebalnya yang dijalin rapi. Fred dan George yang
sama-sama nyengir. Bill dengan luka parut dan rambut panjangnya. Tuan
Weasley yang botak dengan wajahnya yang ramah dan kacamatanya yang agak
miring. Mad-Eye yang siap tempur dengan satu kaki dan mata sihir biru
cerahnya yang tak berhenti berdesing. Tonks dengan rambut pendek berwarna
merah muda. Lupin yang tampak lebih tua dan lebih kurus. Fleur yang cantik dan
ramping dengan rambut panjangnya yang berwarna pirang keperakan. Kingsley
yang hitam, botak, dan berbahu bidang. Hagrid dengan rambut dan janggutnya
yang awut-awutan, berdiri membungkuk agar kepalanya tidak menyentuh langitlangit. Dan, Mundungus Fletcher yang kecil dan dekil, dengan matanya yang
mengantuk dan rambutnya yang lepek. Jantung Harry berdetak kencang, ia
merasa sangat senang saat melihat mereka semua. Bahkan Mundungus, yang
ingin ia cekik saat terakhir kali bertemu.
"Kingsley, aku kira kau menjaga Perdana Menteri Muggle?" tanya Harry.
"Ia akan baik-baik saja walau aku tinggal satu malam," kata Kingsley. "Kau
yang lebih penting."
"Harry, coba tebak," kata Tonks yang duduk di atas mesin cuci, ia
menunjukkan tangan kirinya, sebuah cincin berkilauan.
"Kalian sudah menikah?" jerit Harry, memelototi Tonks dan Lupin.
"Sayang sekali kau tidak bisa hadir, Harry."
"Luar biasa! Sela…"
"Baiklah, kita akan punya waktu untuk mengobrol nanti!" teriak Moody di antara
keriuhan, dan langsung membuat semua terdiam. Moody menjatuhkan dua
kantung besar yang dibawanya dan berbicara pada Harry. "Seperti yang telah
Dedalus katakan padamu, kami tidak memakai rencana A. Pius Thicknesse
bereaksi berlebihan dan memberi kita masalah besar. Dia telah memberi izin
khusus untuk menyambungkan rumah ini ke jaringan Floo, menggunakan Portkey,
bahkan untuk ber-Apparate. Dan semua itu ditujukan untuk menjagamu untuk
mencegah Kau-Tahu-Siapa untuk mendapatkanmu. Yang tentu saja, tidak ada
gunanya karena masih ada perlindungan yang telah ibumu buat. Yang telah dia
lakukan hanya mencegahmu keluar dari sini hidup-hidup.
"Masalah kedua adalah, kau masih di bawah umur. Berarti kau masih dilacak."
"Aku tidak…"
"Pelacak!" kata Mad-Eye tidak sabar. "Mantra yang dapat mendeteksi
kegiatan sihir di sekitar anak yang berusia di bawah tujuh belas tahun! Bila
kau, atau siapa pun yang ada di dekatmu mengeluarkan mantra, Thicknesse
akan tahu dan begitu pula para Pelahap Maut."
"Kita tidak dapat menunggu sampai Pelacak itu hilang, karena begitu kau berusia
tujuh belas tahun, kau akan kehilangan perlindungan dari ibumu. Pendek kata,
Pius Thicknesse telah berhasil memojokkan kita."
Harry sependapat walaupun ia tidak tahu siapa Thicknesse itu. "Jadi, apa yang
akan kita lakukan?"
"Kita akan menggunakan satu-satunya alat transportasi yang tersisa. Yang
tidak akan meninggalkan Jejak. Karena kita tidak perlu mengeluarkan
mantra untuk menggunakannya. Sapu, Thestral, dan sepeda motor Hagrid."
Harry dapat melihat cacat dalam rencana ini, tapi ia tetap diam dan membiarkan
Mad-Eye untuk melanjutkan.
"Perlindungan dari ibumu akan hilang karena dua hal, yaitu saat kau berumur
tujuh belas, atau…" Moody berputar di tengah dapur yang sangat bersih, "kau
tak lagi menganggap tempat ini sebagai rumah. Kau dan paman bibimu berpisah
malam ini, yang artinya kalian tidak akan tinggal bersama lagi, kan
?"
Harry mengangguk.
"Jadi, saat kau meninggalkan rumah ini, kau tidak akan kembali, dan
perlindungan itu akan hilang saat kau keluar dari daerah ini. Pilihan kita saat
ini adalah menghilangkan perlindungan itu lebih awal, atau membiarkan KauTahu-Siapa datang dan langsung menangkapmu saat kau berusia tujuh belas."
"Untung saja Kau-Tahu-Siapa tidak tahu kalau kita akan melakukannya malam
ini. Kita akan membuat jejak palsu untuk Kementrian, karena mereka pikir kau
tidak akan pergi sebelum tanggal tiga puluh. Tapi, karena kita sedang
berhadapan dengan Kau-Tahu-Siapa, kita tidak tahu apakah dia akan termakan
rencana tanggal tiga puluh. Dia memerintahkan Pelahap Maut untuk berpatroli
di atas daerah ini, untuk berjaga-jaga. Jadi, kami telah memberi banyak
perlindungan pada selusin rumah. Dan semuanya dapat menjadi tempat
perlindunganmu. Dan semuanya juga adalah milik anggota Orde: rumahku,
rumah Kingsley, rumah bibi Molly, Muriel… – kau mengerti?"
"Ya," kata Harry, tak sepenuhnya jujur, karena ia hanya mengerti sedikit
dari rencana yang telah dijelaskan tadi.
"Kau akan ke rumah orang tua Tonks. Saat kau sudah berada dalam
perlindungan yang kami buat, kau dapat menggunakan Portkey ke the Burrow.
Ada
pertanyaan?"
"Er… ada," kata Harry. "Sepertinya mereka akan tahu ke mana kita akan pergi,
kan
jelas sekali kalau ada," Harry langsung menghitung cepat, "empat belas
orang yang terbang bersamaan ke rumah orang tua Tonks."
"Ah," kata Moody, "aku lupa menjelaskan rencana utamanya. tentu, tidak
semuanya akan pergi ke rumah orang tua Tonks. Akan ada tujuh orang Harry
Potter yang ditemani seorang pengawal yang akan terbang ke tujuh tempat
perlindungan yang berbeda."
Moody mengeluarkan botol dari dalam jubahnya yang berisi sesuatu yang
nampak seperti lumpur. Dan tidak perlu lagi menjelaskan, karena Harry langsung
mengerti keseluruhan rencana itu.
"Tidak!" teriak Harry, suaranya bergema di dapur. "Tidak akan!"
"Sudah kukira akan begini," kata Hermione penuh rasa puas.
"Kau kira aku akan membiarkan enam orang membahayakan hidup mereka!"
"Kau pikir ini yang pertama kalinya…" kata Ron.
"Tapi ini berbeda, saat kalian berpura-pura menjadi aku…"
"Yah, sebenarnya kami tidak ingin, Harry," kata Fred bersungguh-sungguh.
"Bayangkan bila terjadi sesuatu dan kami akan terperangkap dalam tubuh dan
wajahmu dengan bekas luka itu untuk selamanya."
Harry bahkan tidak tersenyum.
"Kalian tidak akan melakukannya bila aku tidak bekerja sama, kalian butuh
rambutku."
"Wah, tampaknya rencana kami berantakan," kata George. "Jelas tidak
mungkin mendapatkan rambutmu bila kau tidak mau bekerja sama."
"Tiga belas lawan satu, yang bahkan belum diizinkan menggunakan sihir.
Kami pasti gagal," kata Fred.
"Lucu," kata Harry sebal. "Benar-benar lucu."
"Bila kami harus memaksamu, maka itulah yang akan kami lakukan," kata Moody
geram, mata sihirnya berdesing saat akhirnya memandangi Harry. "Tiap orang
yang ada di sini sudah cukup umur, Potter, dan mereka siap dengan resiko yang
mereka hadapi."
Mundungus mengangkat bahu dan menampakkan wajah tidak senang. Mata
sihir Mad-Eye berputar dan memandangi Mundungus menembus kepala Moody.
"Cukup untuk berdebat. Waktu kita tidak banyak. Aku minta beberapa helai
rambutmu, sekarang!" PDF by Kang Zusi
"Tapi ini gila, tidak perlu…"
"Tidak perlu!" hardik Moody. "Dengan Kau-Tahu-Siapa di luar sana
dan separuh
Kementrian mendukungnya? Potter, kita beruntung bila dia menelan mentahmentah rencana palsu pada tanggal tiga puluh. Tapi, dia menyuruh para Pelahap
Maut untuk berjaga-jaga, dan ini yang kita lakukan. Mereka tidak akan bisa
kemari karena perlindungan ibumu, tapi begitu kau pergi nanti, perlindungan itu
akan langsung hilang. Satu-satunya kesempatan yang kita miliki adalah bila kita
mengalihkan perhatian mereka. Karena tidak mungkin, bahkan Kau-Tahu-Siapa,
dapat membagi dirinya menjadi tujuh."
Harry bertatapan sesaat dengan Hermione yang langsung membuang muka.
"Sekarang!" bentak Moody.
Semua mata tertuju pada Harry saat ia mencabut beberapa helai
rambutnya dengan enggan.
"Bagus," kata Moody, berjalan timpang sambil membuka tutup botol
ramuan itu. "Langsung masukkan ke sini."
Harry menjatuhkan rambutnya ke dalam ramuan yang nampak seperti lumpur
itu. Sesaat kemudian, ramuan menggelegak dan berasap. Dan langsung berubah
menjadi cairan bening berwarna keemasan.
"Wah, kau kelihatan lebih enak daripada ramuan Crabbe dan Goyle,Harry,"
kata Hermione, sebelum melihat Ron yang mengangkat alisnya. "Kau tahu
sendiri kan
– ramuan Goyle tampak seperti ingus."
"Baiklah, para Potter palsu, ayo antre di sebelah sini," kata Moody.
Ron, Hermione, Fred, George, dan Fleur langsung berjajar di depan wastafel
bibi Petunia yang berkilauan.
"Kurang satu," kata Lupin.
"Ini," kata Hagrid sambil menjumput kerah baju Mundungus kasar, dan
menjatuhkannya di sebelah Fleur yang langsung mengernyitkan hidungnya dan
maju ke barisan selanjutnya. Berdiri di antara Fred dan George.
"Dah kubilang, mending aku jadi pengawal," kata Mundungus.
"Diam," geram Moody. "Dasar kau cacing tak berguna, para Pelahap Maut tidak
akan membunuh Potter, mereka hanya akan menangkapnya. Dumbledore selalu
berkata bahwa Kau-Tahu-Siapa akan menghabisi Potter dengan tangannya
sendiri. Para Pelahap Maut akan berusaha membunuh para pengawal."
Mundungus tampak tidak yakin dan Moddy langsung mengeluarkan setengah
lusin gelas yang langsung diisinya dengan ramuan dan menyodorkannya ke para
Potter palsu.
"Bersama-sama…"
Ron, Hermione, Fred, George, Fleur, dan Mundungus meminumnya bersamaan.
Mereka langsung merasa mual saat ramuan itu menyentuh tenggorokan mereka.
Lalu, tampak tubuh mereka mulai meleleh seperti lilin panas. Hermione dan
Mundungus menjadi lebih tinggi. Ron, Fred, dan George mengecil dan rambut
mereka menjadi lebih gelap. Tengkorak Hermione dan Fleur berubah bentuk.
Moody langsung berjongkok dan melonggarkan ikatan kantung yang tadi ia bawa.
Saat ia berdiri sudah ada enam orang Harry Potter yang terengah-engah di
depannya.
Fred dan George langsung berdiri berhadapan dan bersamaan mereka berkata,
"Wah, kita mirip!"
"Entahlah, tapi sepertinya aku tetap lebih tampan," kata Fred sambil berkaca di
ketel.
"Bah," kata Fleur yang sedang berkaca di kaca microwave, "Bill, jangan li'at
aku. Aku tampak mengerikan."
"Yang pakaiannya kebesaran, aku membawa pakaian yang lebih kecil di sini,"
kata Moody sambil menunjuk salah satu kantung, "dan begitu pula sebaliknya.
Dan jangan lupa kacamata kalian. Setelah kalian selesai, ambil barang masingmasing di kantung yang lain."
Harry yang asli saat ini sedang melihat hal paling aneh yang pernah ia lihat. Ia
melihat keenam tiruannya berdesakan di sekitar kantung, mengambil baju,
kacamata, dan barangbarang lain. Harry sebal saat mereka langsung berganti
baju begitu saja dengan tubuhnya, merasa privasinya dilanggar.
"Aku tahu Ginny berbohong tentang tato itu," kata Ron sambil memandangi
dadanya
yang telanjang.
"Harry, penglihatamu jelek sekali," kata Hermione sambil memakai kacamatanya.
Setelah mereka berganti pakaian, Harry palsu mengambil ransel dan sangkar
burung PDF by Kang Zusi
hantu yang berisi boneka burung hantu salju dari kantung kedua.
"Bagus," kata Moddy saat melihat tujuh orang Harry yang berkacamata dan
telah siap
berangkat. "Kita akan pergi berpasangan. Mundungus bersamaku naik sapu…"
"K'napa aku bareng kamu?" kata Harry yang di dekat pintu.
"Karena kau memang harus diawasi," kata Moody, dan mata sihirnya memang
terus
memandang ke arah Mundungus. "Arthur dan Fred…"
"Aku George," kata Harry yang Moody tunjuk. "Apa kalian masih tidak bisa
membedakan kami?"
"Maaf, George…"
"Aku bercanda, aku Fred…"
"Cukup bercandanya!" bentak Moody. "Pokoknya, salah satu dari kalian bersama
Arthur,
dan yang lainnya bersama Remus. Nona Delacour…"
"Aku bersama Fleur naik Thestral," kata Bill. "Dia tidak begitu mahir di atas
sapu."
Fleur berdiri di samping Bill sambil memandanginya penuh rasa kagum dan
patuh. Dan
Harry yakin bahwa raut muka itu tidak pernah muncul di wajahnya.
"Nona Granger bersama Kingsley naik Thestral…" Hermione tampak tenang saat
membalas senyum Kingsley, karena ia pun tidak begitu mahir di atas sapu.
"Berarti tinggal kau dan aku, Ron," kata Tonks riang yang kemudian menyenggol
sebuah
mug saat melambaikan tangannya. Ron tampak tidak sesenang Hermione.
"Dan kau bersamaku, Harry. Tak apa, 'kan
?" kata Hagrid, terlihat sedikit
khawatir. "Kita PDF by Kang Zusi
naik motor. Kau tau kan
, sapu dan Thestral tidak dapat tahan berat badanku.
Nanti kau akan duduk di gandengannya.""Bagus," kata Harry tak sepenuhnya
jujur.“Kami pikir Pelahap Maut akan mengira kau akan naik sapu,” kata Moody
yang
sepertinya tahu apa yang sedang Harry pikirkan. “Snape punya banyak
waktu untuk menceritakan segala hal tentangmu di depan Pelahap Maut.
Dan mungkin saja para Pelahap Maut akan mengejar Harry yang memang
ahli dan terbiasa di atas sapu.
Baiklah,” kata Moody yang langsung memimpin mereka keluar. Tiga menit
lagi kita berangkat. Ayo…”
Harry bergegas ke tangga mengambil ransel, Firebolt, dan sangkar Hedwig, lalu
bergabung dengan yang lain di halaman belakang. Semua sudah siap di samping
sapu. Hermione sedang dibantu Kingsley untuk menaiki Thestral, dan Fleur dan
Bill sudah siap di atas Thestral yang lain. Hagrid berdiri di samping sepeda
motor dengan helm dan kacamata terpasang.
“Apakah… apakah ini sepeda motor Sirius?”
“Benar,” kata Hagrid, menatap Harry. “Dan trakhir kali kau di sana
,
aku bisa menggendongmu dengan hanya satu tangan!”
Harry merasa malu saat duduk di gandengan motor. Membuatnya berpuluhpuluh senti lebih pendek dari yang lain, bahkan Ron menyeringai saat
melihatnya, seperti melihat anak kecil yang sedang duduk di bom-bom-car.
Harry memaksa meletakkan ransel dan sapunya di bawah tempat duduknya
dan menaruh sangkar Hedwig di antara lututnya. Benar-benar tidak nyaman.
“Arthur menyihirnya sdikit,” kata Hagrid yang menyadari
ketidaknyamanan Harry. Hagrid sendiri langsung menduduki sepeda motor
yang langsung melesak ke tanah sedalam beberapa senti. “Aku tambahi
beberapa hal di setangnya. Ideku sendiri.”
Hagrid menunjuk sebuah tombol ungu dekat speedometer.
“Hati-hati, Hagrid,” kata tuan Weasley yang berdiri di sebelah sepeda
motor sambil memegang sapunya. “Aku tidak tahu apa akan baik-baik saja
nantinya, dan gunakan hanya saat mendesak.”
“Baiklah,” kata Moody. “Semua bersiap-siap. Aku ingin kita berangkat pada
waktu yang bersamaan atau rencana kita akan gagal.”
Semua menaiki sapu masing-masing.
“Pegangan, Ron,” kata Tonks, dan Harry melihat Ron yang secara sembunyisembunyi melihat Lupin dengan pandangan penuh rasa bersalah karena telah
berani melingkarkan tangannya pada pinggang Tonks. Hagrid menstater sepeda
motor yang langsung meraung seperti naga dan gandengannya mulai bergetar.
“Semoga beruntung,” teriak Moody. “Kita akan bertemu satu jam lagi di the
Burrow. Dalam hitungan ketiga. Satu… dua… TIGA.”
Sepeda motor itu meraung hebat dan Harry merasa gandengannya
menghentak mengejutkan. Harry menembus udara dengan cepat, matanya
mulai berair, rambutnya berkibar. Di sekitarnya pun terlihat sapu yang
melesat naik, juga kibasan ekor Thestral.
Kakinya terasa sakit dan mulai kebas karena berdesakan dengan sangkar Hedwig
dan ransel. Rasa tidak nyaman yang luar biasa bahkan membuatnya lupa untuk
melihat sekilas rumah nomor empat, Privet Drive
, untuk terakhir kalinya. Saat ia
menoleh ke bawah, ia sudah tak bisa mengenalinya. Harry terbang semakin
tinggi dan semakin tinggi.
Tiba-tiba ia dikelilingi oleh minimal tiga puluh orang bertudung, melayang di
udara. Mereka membentuk formasi mengelilingi anggota Orde yang ada.
Teriakan dan kilatan sinar hijau di mana-mana. Hagrid berteriak dan membuat
sepeda motornya berjungkir bailk. Sejenak Harry kehilangan kendali,
kebingungan, melihat cahaya lampu jalanan ada di atas kepalanya, mendengar
teriakan-teriakan, dan ia berpegangan erat agar tidak jatuh. Sangkar Hedwig,
Firebolt, dan ranselnya mulai menggelincir dari kedua lututnya.
“Tidak – HEDWIG!”
Sapunya jatuh terjungkal, namun ia berhasil meraih pegangan ransel dan
sangkar burung hantu di saat-saat terakhir, dan akhirnya sepeda motor itu
kembali ke posisi semula. Lalu, kilatan sinar hijau lain. Hedwig mencicit dan
terguling begitu saja ke dasar sangkar.
“Tidak – TIDAK!”
Sepeda motor itu melaju lebih cepat. Harry sempat melihat sekilas seorang
Pelahap Maut mencoba menghalangi saat Hagrid mempercepat laju sepeda
motornya.
“Hedwig – Hedwig!”
Tapi burung hantu itu tidak bergerak, diam saja seperti boneka di dasar
sangkar. Ia tak percaya dan mulai mengkhawatirkan nasib yang lain. Ia menoleh
dan melihat ada banyak orang, kilatan-kilatan sinar hijau, dan dua pasang orang
pergi menjauh di atas sapu mereka, tapi Harry tidak tahu siapa itu.
“Hagrid, kita harus kembali! Kita harus kembali!” ia berteriak mencoba
menandingi berisiknya suara mesin, mempersiapkan tongkatnya, meletakkan
sangkar Hedwig di bawah kakinya dan tetap tidak percaya bahwa Hedwig telah
mati. “Hagrid, KEMBALI!”
“Tugasku adalah membawamu pergi, Harry!” teriak Hagrid. “Berhenti –
BERHENTI!” teriak Harry. Dan dua kilatan sinar hijau baru saja melesat di
sebelah telinga kiri Harry. Empat Pelahap Maut terbang mengikuti mereka.
Mencoba menyerang Hagrid. Hagrid mengelak tapi mereka terus mengejar.
Semakin banyak kutukan yang diluncurkan ke arah mereka. Dan Harry harus
meringkuk dalam-dalam di gandengan untuk menghindarinya. Ia mengangkat
tongkatnya dan berteriak, “Stupefy!” dan kilatan sinar merah melesat dari
tongkatnya dan membuat jarak antara empat Pelahap Maut yang mencoba untuk
menghindar.
“Tunggu, Harry, akan kucoba yang ini!” teriak Hagrid, dan Harry melihat Hagrid
menekan tombol hijau di dekat pengukur bahan bakar. Sebuah dinding batu bata
yang padat muncul dari knalpot. Sambil menjulurkan leher, Harry melihat
dinding itu membesar. Tiga Pelahap Maut berhasil menghindar namun satu tidak.
Salah satu yang hilang dari pandangan jatuh begitu saja saat sapunya hancur.
Satu di antaranya mencoba menyelamatkannya. Tapi keduanya hilang dari di
kegelapan saat Hagrid mempercepat laju sepeda motornya.
Lebih banyak lagi kutukan yang melesat di atas kepala Harry yang berasal dari
tongkat dua Pelahap Maut yang tersisa. Mereka masih mencoba menyerang
Hagrid. Harry melawan dengan Mantra Bius. Kilatan cahaya merah dan hijau
melesat di udara seperti kembang api. Dan para Muggle di bawah sana
tidak
tahu apa yang terjadi.
“Kita coba yang lain, Harry, pegangan!” teriak Hagrid yang langsung menekan
tombol kedua. Kali ini muncul sebuah jaring yang sangat besar dari knalpot.
Tapi para Pelahap Maut sudah siap dan berhasil menghindar. Bahkan datang
seorang lagi yang tiba-tiba muncul dari kegelapan. Kini ada tiga Pelahap Maut
yang mengejar mereka dan terus menerus melemparkan kutukan ke arah
mereka.
“Siap-siap, Harry, pegangan yang kuat!” teriak Hagrid, dan Harry melihat
Hagrid menekan tombol ungu di sebelah speedometer.
Dengan suara raungan yang sangat keras, semburan api naga berwarna putih
biru keluar dari knalpot, dan sepeda motor itu langsung melesat secepat peluru
dengan suara getaran logam. Harry melihat para Pelahap Maut mencoba
menghindari semburan api yang mematikan itu. Pada saat yang sama, terasa
gandengan motor mulai bergetar kencang. Sambungannya mulai mengendur
bersamaan dengan bertambahnya kecepatan sepeda motor.
“Tak apa, Harry!” teriak Hagrid yang membungkuk dalam-dalam. Tidak
seorang pun yang mengejar mereka. Dan gandengan itu perlahan mulai
terlepas.
“Kuusahakan, Harry, jangan khawatir!” teriak Hagrid sambil mengeluarkan
payung merah jambu dari saku mantelnya.
“Hagrid! Jangan! Aku saja!”
“REPARO!”
Terdengar letusan yang memekakan telinga dan gandengan motor itu benarbenar lepas. Gandengan motor itu langsung jatuh dari ketinggian.
Di tengah keputusasaannya, Harry mengarahkan tongkatnya pada gandengan
motor dan berteriak “Wingardium leviosa!”
Gandengan motor itu mulai melayang walaupun tidak banyak bergerak, paling
tidak ia masih melayang. Tiba-tiba terdengar kutukan-kutukan yang
dilesatkan. Tiga Pelahap Maut tadi berhasil mengejarnya.
“Aku datang, Harry!” teriak Hagrid dari kegelapan, tapi Harry bisa merasakan
kalau sisi motor mulai kehilangan keseimbangan lagi. Meringkuk sedalam yang ia
bisa, ia mengarahkan tongkatnya pada seseorang yang sedang menuju ke
arahnya dan berteriak,
“Impedimenta!”
Mantra itu tepat mengenai dada Pelahap Maut. Untuk sesaat Pelahap Maut itu
berhenti mendadak seakan ada penghalang yang tidak nampak baru saja
menabraknya, dan nyaris saja Pelahap Maut lain menabraknya.
Lalu gandengan motor itu mulai jatuh dan satu Pelahap Maut yang tersisa
menembakkan kutukan pada Harry dari jarak yang begitu dekat sehingga ia
harus menunduk dan masuk ke dalam gandengan dan membuat giginya patah
karena terantuk pinggiran tempat duduk.
“Aku datang, Harry, aku datang!” teriak Hagrid. Sebuah tangan besar
mengangkat bagian belakang jubah Harry dan menariknya keluar dari gandengan
motor. Harry berhasil membawa ranselnya saat akhirnya didudukkan di kursi
sepeda motor, dan ia sadar bahwa ia sedang beradu punggung dengan Hagrid.
Saat mereka melesat menjauh meninggalkan dua Pelahap Maut, Harry
meludahkan darah yang membanjiri mulutnya, mengarahkan tongkatnya pada
gandengan motor yang jatuh dan berteriak, “Confringo!”
Rasanya sungguh menakutkan dan seakan perutnya terpilin saat melihat
Hedwig ikut meledak di dalamnya. Dua Pelahap Maut yang tersisa terlempar
jatuh dari sapunya.
“Harry, maaf, maaf!” erang Hagrid, “tak seharusnya aku mencoba
membetulkannya, kau tidak…”
“Tidak apa-apa. Tetaplah terbang,” balas Harry. Lalu dari kegelapan muncul dua
Pelahap Maut lain yang berhasil mengejar mereka.
Kutukan mulai mengarah lagi pada mereka, Hagrid mencoba mengelak dan
melakukan gerakan zigza. Harry tahu bahwa Hagrid tidak akan mencoba untuk
menekan tombol api naga itu lagi. Apalagi saat ini Harry duduk di tempat yang
tidak aman. Harry melepaskan Mantra Bius ke arah para pengejar mereka,
walaupun gagal. Lalu ia melemparkan Matra Penghalang. Salah satu dari Pelahap
Maut itu menghindar dan membuat tudungnya terbuka, dan saat cahaya merah
dari Mantra Bius melesat di sebelah wajahnya, tampak Stan Shunpike menatap
kosong – Stan –
“Expelliarmus!” teriak Harry.
“Itu! Itu dia, itu yang asli!”
Teriakan Pelahap Maut itu terdengar oleh Harry walaupun dalam deru
suara mesin sepeda motor. Tiba-tiba kedua pengejarnya mundur dan
menghilang.
“Harry, ada apa?” teriak Hagrid. “Ke mana mereka pergi?”
“Entahlah!”
Tapi Harry ketakutan. Pelahap Maut itu berkata, “Itu dia, itu yang asli!” Tapi
bagaimana mereka tahu? Ia memandangi kegelapan kosong dan merasakan ada
hal yang aneh. Ke mana mereka pergi?
Harry berputar dan menghadap ke depan agar ia bisa memegang jaket Hagrid.
“Hagrid, tekan tombol api naga itu lagi, kita harus cepat pergi dari sini!”
“Pegangan yang erat, Harry!”
Lalu terdengar suara deruman yang memekakkan telinga lagi, dan terlihat
semburan api putih biru keluar dari knalpot. Harry merasa ia mulai merosot dari
tempat duduknya. Lalu Hagrid memeganginya dengan satu tangan, sementara
tangan yang lain berusaha mengendalikan stang motor.
“Rasanya kita telah meninggalkan mereka, Harry! Kita berhasil!” teriak Hagrid.
Tapi Harry tidak seyakin itu. Ia merasa ketakutan bila tiba-tiba mereka
kembali terkejar. Mengapa mereka mundur? Salah satu dari mereka masih
memegang tongkat… itu yang asli… mereka mengatakannya saat ia menyerang
Stan dengan Mantra Pelucutan Senjata…
“Kita hampir sampai, Harry!” teriak Hagrid.
Harry dapat merasakan kecepatan sepeda motor berkurang. Walau lampulampu di bawah masih tampak seperti bintang.
Tiba-tiba bekas lukanya terasa terbakar, saat seorang Pelahap Maut muncul di
samping sepeda motornya. Dua Kutukan Kematian lewat hanya berjarak
beberapa milimeter dari Harry, dan arahnya datang dari belakang.
Lalu Harry melihatnya. Voldemort terbang seperti asap di atas angin, tanpa
sapu atau Thestral. Wajahnya yang seperti ular bercahaya di tengah
kegelapan. Dan jari-jarinya yang putih, mengangkat tongkat lagi.
Hagrid memberanikan diri untuk membawa sepeda motornya terjun vertikal.
Berpegangan erat pada jaket Hagrid, Harry mulai menembakkan Mantra Bius
ke segala arah. Ia melihat tubuh seseorang terbang jatuh melewatinya dan ia
tahu mantranya telah mengenai sseorang. Namun terdengar suara ledakan dan
terlihat percikan api dari mesin.
Sepeda motor itu jatuh berputar di udara, benar-benar lepas kendali.
Kilatan sinar hijau ditembakkan lagi ke arah mereka. Harry tidak tahu
bagaimana keadaan mereka, lukanya masih terasa terbakar. Rasanya ia
ingin mati seketika. Seseorang bertudung di atas sapu hanya berjarak
beberapa meter darinya dan mulai mengangkat tangannya.
“Tidak!”
Tiba-tiba Hagrid meninggalkan sepeda motor dan meloncat ke arah Pelahap
Maut. Lalu Harry melihat mereka berdua jatuh dan menghilang dari pandangan.
Berat tubuh mereka tidak mampu ditahan oleh sapu itu. Lutut Harry menjepit
dudukan sepeda motor, berusaha agar tidak melepasnya. Dan Harry mendengar
Voldemort berteriak “Milikku!”
Namun kini ia tidak lagi bisa melihat atau mendengar Voldemort. Tapi kini ia
melihat seorang Pelahap Maut lain mendekat dan terdengar “Avada…”
Rasa sakit di keningnya membuat Harry menutup matanya, tongkatnya
bergerak sesuai keinginannya sendiri. Ia merasa tangannya ditarik oleh sebuah
magnet yang sangat kuat, dan terlihat pancaran api keemasan. Kemudian
terdengar suara retakan dan teriakan kemarahan. Para Pelahap Maut yang
tersisa berteriak, tapi Voldemort menjerit “Tidak!” Tiba-tiba Harry melihat
tombol api naga tepat di bawah hidungnya. Ia menekannya dan sepeda motor
itu menyemburkan lebih banyak api ke udara dan meluncur langsung ke tanah.
“Hagrid!” panggil Harry, mencoba untuk tetap berpegangan pada sepeda
motor itu. “Hagrid – accio Hagrid!”
Sepeda motor itu melaju langsung menuju tanah. Sambil memegangi setang
sepeda motor, Harry hanya bisa melihat lampu-lampu yang mendekat. Ia akan
menabrak dan ia tidak bisa melakukan apa-apa. Di kejauhan terdengar
teriakan…
“Tongkatmu, Selwyn, berikan tongkatmu!”
Ia dapat merasakan Voldemort sebelum ia melihatnya. Saat menoleh, ia melihat
ke dalam mata merahnya dan merasa yakin itulah yang akan terakhir di lihatnya.
Voldemort akan segera membunuhnya.
Namun Voldemort menghilang. Harry melihat ke bawah dan melihat Hagrid yang
terjatuh tergeletak di tanah. Ia berusaha untuk mengendalikan setang sepeda
motor itu agar tidak menabrak Hagrid. Lalu ia mencoba untuk menggengam rem
sebelum akhirnya ia menabrak kolam berlumpur

PostHeaderIcon Bab 3 The Dursleys Departing KEBERANGKATAN KELUARGA DURSLEY


Suara pintu dibanting hingga bergema sampai terdengar ke lantai atas, dan
terdengar suara teriakan, “Hei! Boy!”
Sudah enam belas tahun ia terbiasa dipanggil seperti itu, sehingga Harry tahu
siapa yang dipanggil. Tapi, ia tidak bergegas untuk menjawab. Ia masih tertegun
melihat pecahan cermin, yang dalam beberapa detik yang lalu, ia berpikir telah
melihat mata Dumbledore. Hingga pamannya berteriak, ‘BOY!’ yang membuat
Harry berdiri dan berjalan menuju pintu kamarnya perlahan. Ia berhenti
sebentar dan memasukkan pecahan cermin itu ke dalam ransel yang penuh
dengan berbagai barang yang akan dibawanya.
“Nikmati waktumu selagi bisa!” teriak Vernon Dursley saat melihat Harry
muncul di puncak tangga. “Turun kemari. Aku ingin sebuah penjelasan!”
Harry berjalan menuruni tangga, tangannya berada dalam saku celana
jeansnya. Saat ia masuk ke ruang tamu, ia melihat keluarga Dursley sudah
memakai pakaian bepergian mereka. Paman Vernon memakai jaket kulit
rusanya, bibi Petuna memakai mantel berwarna salmonnya, dan Dudley, sepupu
Harry yang besar, pirang, dan berotot, memakai jaket kulitnya.
“Ya?” tanya Harry.
“Duduk!” kata paman Vernon. Harry menaikkan alisnya. “Tolong!” tambah
paman Vernon, sambil mengernyit, seakan kata yang ia ucapkan melukai
tenggorokannya.
Harry duduk. Sepertinya ia tahu apa yang akan terjadi. Pamannya mulai
memutari ruangan, Bibi Petunia dan Dudley memperhatikannya dengan cemas.
Akhirnya, dengan wajahnya yang besar dan ungu yang tengah berkonsentrasi,
paman Vernon berhenti tepat di depan Harry dan ia mulai berbicara.
“Aku berubah pikiran,” katanya.

“Mengejutkan sekali,” kata Harry.
“Jangan sekali-kali kau…” Bibi Petunia memulai pembicaraan dengan
suaranya yang melengking, tapi Vernon Dursley mengangkat tangannya,
menyuruhnya diam.
“Semua ini omong kosong,” kata paman Vernon sambil menatap Harry dengan
matanya yang kecil. “Aku telah memutuskan untuk tidak mempercayainya. Kami
akan tetap di sini dan tidak akan pergi ke mana-mana.”
Harry melihat pamannya dan merasakan campuran antara rasa jengkel dan
kagum. Vernon Dursley telah mengubah pikirannya setiap dua puluh empat
jam selama empat minggu terakhir. Berkemas, membongkarnya, dan
berkemas lagi tergantung suasana hatinya. Momen kesukaan Harry adalah
saat paman Vernon, tidak menyadari bahwa Dudley memasukkan samsak tinju
ke dalam tas, ia berusaha mengangkatnya tapi gagal dan membuatnya
terjatuh bersamaan dengan rasa sakit dan sumpah serapahnya.
“Seperti yang kau katakan,” kata paman Vernon, melanjutkan kegiatan
berjalan berputarnya, “kami, Petunia, Dudley, dan aku, sedang dalam bahaya.
Yang disebabkan oleh… oleh…”
“Oleh ’kaumku’, kan?” kata Harry.
“Oh, aku tak percaya ini,” kata paman Vernon, yang berdiri di depan Harry
lagi. “Aku terjaga semalaman memikirkan segalanya, dan menurutku kau
berencana untuk mengambil alih rumah ini.”
“Rumah?” ulang Harry. “Rumah apa?”
“Rumah ini!” teriak paman Vernon, pembuluh darah di kepalanya mulai berdenyut.
“Rumah kami! Rumah yang harganya terus meroket! Kau ingin kami pergi dan kau
akan melakukan hocus pocus-mu dan tiba-tiba tanpa sepengetahuan kami, rumah
ini sudah jadi atas namamu dan…”
“Apa kalian sudah gila?” tuntut Harry. “Rencana untuk mengambil alih
rumah? Apa kalian sebodoh tampang kalian?”
“Berani-beraninya kau…” cicit Bibi Petunia, tapi lagi-lagi Vernon membuatnya
diam.
“Apa kalian lupa,” kata Harry, “aku sudah punya, bapak baptisku memberikannya
untukku. Jadi mengapa aku menginginkan rumah ini? Karena kenangannya yang
indah?”
Semua terdiam. Harry mengira pamannya kagum dengan argumennya.
“Katamu,” kata paman Vernon, mulai berjalan memutar lagi, “masalah Lord itu…”
“Voldemort,” kata Harry tak sabar, “dan kita sudah membahasnya ratusan
kali. Dan ini bukan kataku, ini kenyataan, Dumbledore sudah mengatakannya
pada kalian, juga Kingsley, dan Tuan Weasley…”
Vernon melengkungkan bahunya dengan marah, dan Harry menebak bahwa
pamannya sedang mengingat-ingat kunjungan mendadak, saat liburan musim
panas Harry, dua orang penyihir dewasa. Kedatangan Kingsley Shacklebolt dan
Arthur Weasley ke depan pintu rumah keluarga Dursley membuatnya tidak
senang. Harry tahu, kedatangan Tuan Weasley yang terakhir menyebabkan
setengah dari ruang tamunya hancur, dan kedatangannya kembali tidak
mungkin disambut hangat oleh paman Vernon.
“… Kingsley dan tuan Weasley juga sudah menjelaskannya padamu,” kata Harry
tanpa penyesalan. “Saat aku berusia tujuh belas, mantra perlindungan yang
menjagaku akan hilang dan tak lagi melindungi aku ataupun kalian. Anggota Orde
yakin bahwa Voldemort akan menggunakanmu untuk menemukanku, atau mungkin
bila dia menjadikanmu tawanan, aku akan datang dan mencoba untuk
menyelamatkanmu.”
Mata paman Vernon dan Harry beradu. Harry yakin bahwa mereka memikirkan
hal yang sama. Lalu paman Vernon melanjutkan langkahnya dan Harry berkata,
“Kalian harus pergi untuk bersembunyi, dan anggota Orde ingin membantu.
Kalian telah ditawari perlindungan terbaik.”
Paman Vernon tidak berkata apa-apa dan tetap berjalan. Di luar, matahari
mulai turun menuju garis cakrawala. Tetangga sebelah telah selesai memangkas
rumput halamannya.
“Aku kira kalian memiliki Kementrian Sihir?” tanya paman Vernon tiba-tiba.
“Memang ada,” kata Harry, terkejut.
“Kalau begitu, mengapa mereka tidak melindungi kami? Menurutku, sebagai
korban yang tak bersalah, kami seharusnya mendapat perlindungan dari
pemerintah!”
Harry tertawa, ia tak bisa menahan dirinya sendiri. Pamannya
mengharapkan adanya peraturan, walaupun dalam dunia yang ia benci.
“Kau dengar apa yang tuan Weasley dan Kingsley katakan,” Harry mengingatkan.
“Kami pikir Kementriran telah disusupi.”
Paman Vernon berhenti di depan perapian dan menarik nafas dalam-dalam
membuat kumis hitam besarnya bergerak-gerak, dan wajahnya tetap ungu
karena berkonsentrasi.
“Baiklah,” katanya, kini ia berdiri lagi di depan Harry. “Baiklah, karena segala
alasan yang ada, kami menerima perlindungan itu. Tapi aku masih tidak mengerti mengapa kami tidak dilindungi oleh Kingsley?”
Harry tidak dapat mencegah dirinya untuk tidak memutar matanya.
Pertanyaan ini pun sudah ditanyakan berkali-kali.
“Aku kan sudah katakan,” katanya dengan gigi terkatup, “Kingsley menjaga
Perdana Menteri Mug… maksudku, Perdana Menteri kalian.”
“Benar sekali, dia yang terbaik!” kata paman Vernon, menunjuk layar TV yang
kosong. Dursley menyadari keberadaan Kingsley di berita TV, berjalan di
belakang Perdana Menteri Muggle saat melakukan kunjungan ke rumah sakit.
Dan fakta bahwa Kingsley mahir berpakaian seperti Muggle, tidak termasuk
suaranya yang pelan, dalam, dan mampu meyakinkan keluarga Dursley,
menyebabkan keluarga Dursley tidak ingin diurus oleh penyihir lain, walaupun
mereka belum pernah melihat Kingsley saat ia memakai antingnya.
“Yah, dia sudah menjaga yang lain.” Kata Harry. “Tapi Hestia Jones dan
Dedalus Diggle mampu menjaga kalian…”
“Walau kami sudah pernah lihat CVnya…” mulai paman Vernon, tapi Harry
kehilangan kesabaran. Ia berdiri, menantang pamannya, dan menunjuk layar
TV.
“Kecelakaan itu bukan kecelakaan biasa – tabrakan, ledakan, hal-hal aneh, atau
apapun yang terjadi yang kita lihat di TV. Banyak orang hilang dan meninggal,
dan dia ada di belakang semua ini – Voldemort. Aku telah mengatakan hal ini
padamu berulang kali, dia membunuh Muggle hanya untuk bersenang-senang.
Bahkan beberapa di antaranya disebabkan oleh Dementor, dan bila kau tidak
ingat apa itu, tanyakan pada anakmu!”
Dudley tersentak, tangannya menutupi mulutnya. Seluruh mata di ruangan itu
tertuju padanya, perlahan ia menurunkan tangannya dan bertanya, “Apa
mereka… ada begitu banyak?”
“Banyak?” Harry tertawa. “Lebih dari dua yang menyerang kita, maksudmu?
Tentu saja, jumlah mereka beratus-ratus banyaknya, mungkin sudah menjadi
beribu-ribu sekarang ini, melihat banyaknya hal yang menakutkan yang
terjadi…”
“Baiklah, baiklah,” potong Vernon Dursley. “Kami mengerti maksudmu…”
“Aku harap begitu,” kata Harry, “karena begitu aku berumur tujuh belas,
semuanya – Pelahap Maut, Dementor, bahkan Inferi, yang merupakan mayat
yang disihir oleh Sihir Hitam – dapat menemukanmu dan menyerangmu. Dan
bila kau ingat saat terakhir kali engkau mencoba lari dari penyihir, aku yakin
kau akan membutuhkan bantuan.”
Semuanya terdiam saat mereka mengingat suara dentuman saat Hagrid
menghancurkan pintu kayu beberapa tahun lalu. Bibi Petunia melihat paman
Vernon dan Dudley menatap Harry. Akhirnya paman Vernon berbicara, “Tapi
bagaimana dengan pekerjaanku? Bagaimana dengan sekolah Dudley? Sepertinya
hal itu tidak terpikirkan oleh penyihir seperti kalian…”
“Apa kalian tidak mengerti juga?” teriak Harry. “Mereka akan menyiksa dan
membunuh kalian seperti mereka melakukannya pada orang tuaku!”
“Ayah,” kata Dudley dengan suara keras, “Ayah – aku akan ikut dengan
orang-orang Orde.”
“Dudley,” kata Harry, “untuk pertama kalinya dalam hidupmu, kau mengatakan
hal yang masuk akal.”
Harry tahu bahwa ia telah memenangkan pertarungan. Bila Dudley cukup
ketakutan hingga ia menerima tawaran anggota Orde, orang tuanya akan
menemaninya. Tidak mungkin mereka mau berpisah dengan Diddykins. Harry
memerhatikan jam yang berada di atas perapian.
“Mereka akan tiba dalam lima menit,” katanya, dan saat tak seorang pun
membalas ucapannya, ia meninggalkan ruangan. Kemungkinan untuk berpisah dari
bibi, paman, dan sepupunya untuk selamanya, satu-satunya hal yang dapat
membuatnya senang. Tapi tetap saja ada kemungkinan lain. Apa yang akan kau
katakan pada orang yang kau benci selama enam belas tahun?
Di kamarnya, Harry menyeret ranselnya, lalu memasukkan kacang ke sangkar
Hedwig. Kacang itu jatuh begitu saja ke dasar sangkar, tanpa dipedulikan
Hedwig.
“Kita akan segera berangkat, sebentar lagi,” Harry berkata padanya. “Dan
kau dapat terbang.”
Bel pintu berbunyi. Harry ragu, namun ia tetap keluar dari kamar dan
turun. Tidak mungkin Hestia dan Dedalus dapat menghadapi keluarga
Dursley sendirian.
“Harry Potter!” seru suara yang terdengar bersemangat, begitu Harry
membuka pintu. Seorang pria kecil dengan topi ungunya langsung
membungkukkan badannya. “Sebuah kehormatan!”
“Terima kasih, Dedalus,” kata Harry, ia tersenyum malu-malu pada Hestia.
“Baik sekali kalian mau melakukan hal ini… Mereka orang-orang yang keras,
bibi, paman, dan sepupuku…”
“Selamat sore, keluarga Harry Potter!” kata Dedalus riang, ia langsung berjalan
masuk ke dalam ruang tamu. Keluarga Dursley tidak tampak gembira saat
menemui mereka.
Harry mengira pamannya akan mengubah pikirannya lagi. Dudley langsung
menempel pada ibunya begitu melihat para penyihir itu.
“Aku melihat kalian sudah siap. Bagus! Rencananya seperti yang telah Harry
katakan pada kalian,” kata Dedalus sambil memeriksa saku mantelnya. “Kita
akan berangkat sebelum Harry. Karena Harry masih di bawah umur dan belum
diizinkan untuk menggunakan sihir, hal ini akan memudahkan Kementrian untuk
menangkapnya. Kita akan berkendara sejauh kurang lebih enam belas kilo
sebelum kita bisa ber-Disapparate menuju tempat perlindungan. Kau tahu
bagaimana cara mengemudi? Atau aku yang harus melakukannya?” ia bertanya
dengan sopan pada paman Vernon.
“Tahu bagaimana cara…? Tentu saja aku tahu bagaimana cara mengemudi!” kata
paman Vernon tersinggung.
“Pintar sekali Anda, sangat pintar, aku sendiri akan kebingungan dengan semua
tombol dan kenop itu,” kata Dedalus. Jelas sekali Dedalus sedang mencoba
menyanjung Vernon Dursley.
“Tidak bisa mengemudi,” gumamnya marah membuat kumisnya bergerak-gerak.
Untung saja Dedalus dan Hestia tidak memperhatikannya.
“Sedangkan Harry,” lanjut Dedalus, “akan menunggu para pengawal. Ada
sedikit perubahan rencana…”
“Apa maksudmu?” kata Harry. “Bukankah Mad-Eye akan datang dan
membawaku ber-Apparate?”
“Tidak bisa,” jawab Hestia. “Mad-Eye akan menjelaskannya nanti.”
Keluarga Dursley, yang mendengarkan pembicaraan yang tidak mereka
mengerti, terkejut begitu mendengar suara yang berteriak keras “Cepat!”
Harry menoleh mencari sumber suara itu sebelum akhirnya sadar bahwa suara
itu berasal dari jam saku Dedalus.
“Benar juga, kita terburu waktu,” kata Dedalus, melihat jam sakunya dan
memasukkanya lagi ke dalam saku mantelnya. “Kami usahakan agar engkau
berangkat pada waktu yang bersamaan saat keluargamu ber-Apparate, karena
perlindungan akan hilang begitu kau berangkat menuju tempat perlindungan.”
Lalu ia berbicara pada keluarga Dursley, “Sudah siap?”
Tidak seorang pun menjawab. Bahkan paman Vernon masih menatap saku
mantel Dedalus.
“Mungkin kita harus menunggu di luar, Dedalus,” bisik Hestia, yang mengira akan
terjadi perpisahan penuh cinta dan air mata.
“Tidak perlu,” gumam Harry, dan paman Vernon juga tidak memberi
penjelasan, dan langsung berkata, “Baiklah, saat untuk berpisah.”
Ia menyodorkan tangan kanannya untuk menjabat tangan Harry, tapi ia berubah
pikiran di detik-detik terakhir, dan langsung mengepalkan tangannya dan
menggerakkannya maju mundur seperti metronome.
“Siap, Diddy?” tanya Bibi Petunia, sambil memeriksa tasnya sekaligus
menghindar untuk menatap Harry.
Dudley tidak menjawab, tapi berdiri dengan mulut yang mulai membuka,
mengingatkan Harry akan Grawp.
“Baiklah kalau begitu,” kata paman Vernon.
Ia telah membuka pintu saat Dudley tiba-tiba bergumam, “Aku tidak mengerti.”
“Apa yang tidak kamu mengerti, Popkin?” tanya Bibi Petunia, melihat anaknya.
Dudley mengangkat tangannya yang besar dan menunjuk Harry,
“Mengapa dia tidak pergi bersama kita?”
Paman Vernon dan Bibi Petunia berdiri membeku, memandangi Dudley heran,
seakan
mereka mendengar kalau Dudley ingin menjadi balerina.
“Apa?” kata paman Vernon.
“Mengapa dia tidak ikut?” tanya Dudley.
“Dia… dia tidak ingin,” kata paman Vernon, menatap Harry lalu menambahkan,
“Kau
tidak ingin, kan?”
“Tidak sedikit pun,” kata Harry.
“Baiklah kalau begitu,” paman Vernon berkata pada Dudley. “Sekarang, ayo
berangkat.”
Ia berjalan keluar dari ruangan. Mereka mendengar pintu depan membuka, tapi
Dudley
tidak bergerak bahkan Bibi Petunia ikut berhenti setelah mulai melangkah.
“Sekarang apa lagi?” teriak paman Vernon, muncul dari pintu depan.
Sepertinya Dudley sedang berpikir dalam gagasannya yang nampaknya tidak
mudah
diuraikan dalam kata-kata. Setelah beberapa saat kemudian, ia berkata, “Tapi,
ke mana
dia akan pergi?”
Bibi Petunia dan paman Vernon saling berpandangan. Jelas sekali Dudley telah
membuat
mereka takut. Hestia Jones memecah kesunyian.
“Tapi… kau tahu ke mana keponakanmu akan pergi, kan?” tanyanya, nampak
kebingungan.
“Tentu saja kami tahu,” kata Vernon Dursley. “Dia akan pergi ke rumah salah
satu
temanmu, kan? Ayo, Dudley, masuk ke mobil, kau dengar dia tadi, kita
terburu-buru.”
Lalu, Vernon Dursley berjalan keluar, tapi Dudley tidak mengikutinya.
Hestia tampak marah. Harry pernah mengalami hal ini, penyihir yang terpaku
melihat
bahwa keluarga terdekatnya tidak memiliki ketertarikan atas Harry Potter
yang begitu
terkenal.
“Tidak apa-apa,” Harry meyakinkan Hestia. “Bukan masalah besar.”
“Tidak apa-apa?” ulang Hestia, nada suaranya meninggi. “Apakah orang-orang
itu tidak PDF by Kang Zusi
tahu apa saja yang telah kau alami? Apakah mereka tahu bahwa engkau sedang
dalam
bahaya? Apakah mereka tahu posisimu sebagai jantung dari gerakan antiVoldemort?”
“Er… tidak, mereka tidak tahu,” kata Harry. “Mereka pikir aku hanya
buang-buang waktu, tapi aku sudah terbiasa…”
“Kau tidak sedang buang-buang waktu.”
Bila Harry tidak melihat bibir Dudley yang bergerak, mungkin ia tak akan
percaya. Ia menatap Dudley selama beberapa detik sebelum sadar bahwa
sepupunya baru saja berbicara. Tiba-tiba muka Dudley berubah merah. Tibatiba Harry merasa malu dan terpesona.
“Yah… er… terima kasih, Dudley.”
Lalu, Dudley nampak sibuk sendiri dengan pikirannya, lalu tiba-tiba
menggumam, “Kau telah menyelamatkan nyawaku.”
“Tidak juga,” kata Harry. “Dementor mencoba menyedot jiwamu…”
Harry menatap sepupunya penuh dengan rasa ingin tahu. Selama musim panas
ini dan musim panas lalu mereka tidak sekali pun saling berbicara, karena Harry
memang selalu berada di kamarnya. Ini merupakan awal bagi Harry. Mungkin,
cangkir teh tadi pagi bukan sekadar jebakan belaka. Walau merasa sedikit
tersentuh, ia tetap saja merasa senang saat melihat Dudley berusaha setengah
mati saat mengungkapkan perasaannya. Setelah membuka mulutnya satu dua
kali, Dudley memutuskan untuk tetap diam.
Bibi Petunia tiba-tiba menangis. Hestia Jones yang awalnya tersentuh kembali
marah saat Bibi Petunia datang dan memeluk Dudley, bukannya pada Harry.
“Ma-manis sekali, Dudders…” isaknya di dada Duddley, “Su-sungguh anak baik…
memengucapkan terima kasih…”
“Tapi dia tidak mengucapkan terima kasih sama sekali!” kata Hestia marah.
“Dia hanya bilang bahwa Harry tidak buang-buang waktu!”
“Yah, tapi bila itu berasal dari Dudley, itu bisa saja berarti “aku cinta
padamu”,” kata Harry membuat Bibi Petunia antara merasa terganggu dan
ingin tertawa. Bibi Petunia memeluk Dudley seakan ia baru saja
menyelamatkan Harry dari gedung yang terbakar.
“Kita berangkat tidak?” teriak paman Vernon yang sudah muncul lagi di
ruang tamu. “Aku kira kita punya sedang diburu waktu!”
“Ya, ya, tentu saja,” kata Dedalus Diggle yang sedang terkagum-kagum melihat
apa yang terjadi. Tapi ia memaksakan diri, “Kami harus berangkat, Harry…”
Dedalus melangkah maju dan menjabat tangan Harry dengan kedua tangannya.
“… semoga beruntung. Semoga kita berjumpa lagi. Nasib dunia sihir
berada di pundakmu.”
“Oh,” kata Harry “iya. Terima kasih.”
“Hati-hati Harry,” kata Hestia, yang juga menjabat tangannya. “Kami selalu
bersamamu.”
“Semoga semuanya akan baik-baik saja,” kata Harry sambil memandang ke
arah Bibi Petunia dan Dudley.
“Oh, aku yakin kami akan baik-baik saja,” kata Diggle riang, melambaikan
topinya saat meninggalkan ruangan. Hestia mengikutinya.
Perlahan Dudley melepaskan diri dari pelukan ibunya dan berjalan mendekati
Harry, lalu menyodorkan tangannya yang besar.
“Ya ampun, Dudley,” kata Harry, “apakah Dementor mengubah kepribadianmu?”
“Entahlah,” kata Dudley. “Sampai jumpa, Harry.”
“Yah…” kata Harry, yang kemudian menyambut tangan Dudley dan
menjabatnya. “Mungkin. Hati-hati, Big D.”
Dudley tersenyum tipis, lalu berlalu meninggalkan ruangan. Harry dapat
mendengar langkah beratnya menuju mobil, dan terdengar suara pintu
ditutup.
Bibi Petunia yang menutupi wajahnya dengan saputangan, tidak menyangka
hanya ia yang tertinggal sendiri bersama Harry. Ia langsung memasukkan
saputangannya yang basah ke dalam tas dan berkata, “Baiklah, sampai
jumpa,” dan ia berjalan keluar tanpa mau melihat Harry.
“Sampai jumpa,” kata Harry.
Ia berhenti dan menoleh. Untuk beberapa saat Harry merasakan perasaan
teraneh saat melihat bibinya menatap dirinya, wajah bibinya tampak aneh
dan gemetar, dan tampaknya ia akan mengatakan sesuatu, tapi ia
menggelengkan kepalanya dan segera meninggalkan ruangan mengikuti suami
dan anaknya.

PostHeaderIcon Bab 2: In Memorandum (Kenangan)


Harry terluka. Ia menggenggam tangan kanannya dengan tangan kirinya,
menyumpahnyumpah dalam bisikan. Ia membuka pintu kamar dengan bahunya.
Terdengar suara pecahan perabot porselen, dan sebuah pecahan cangkir
berisi teh dingin tergeletak di lantai depan pintu kamarnya.
"Apa-apaan…?"
Ia melihat sekelilingnya, rumah nomor empat, Privet Drive yang sepi. Sepertinya
ide cangkir teh ini adalah salah satu ide jebakan terbaik dari Dudley. Menjaga
agar tangannya yang terluka tetap terangkat, Harry mengambil semua pecahan
cangkir itu dengan tangannya yang lain, dan membuangnya ke tempat sampah di
dekat pintu kamarnya. Lalu ia langsung ke kamar mandi untuk mencuci lukanya.
Sungguh benar-benar bodoh dan membosankan, bahwa ia harus menghabiskan
empat minggu menahan diri untuk tidak menggunakan sihir… tapi ia merasa
bahwa luka di jarinya dapat memaksanya untuk melakukan sihir. Sayangnya ia
tak pernah belajar bagaimana mengobati luka, dan sekarang ia mulai berpikir
bagaimana cara melakukannya. Ia berencana untuk menanyakan caranya pada
Hermione, Sekarang ia menggunakan banyak tisu untuk membersihkan
tumpahan tehnya sebelum ia kembali ke kamar dan membanting pintu kamarnya.
Harry menghabiskan pagi ini untuk mengosongkan koper yang selalu ia gunakan
selama enam tahun terakhir. Pada tahun pertamanya, ia memenuhi kurang lebih
tiga perempatnya lalu kadang mengganti atau menambahkan isinya tiap tahun,
dan meninggalkan sisa-sisa di dasar koper – pena bulu lama, mata kumbang yang
telah mengering, dan kaus kaki yang sudah tidak cukup lagi. Beberapa menit
sebelumnya, Harry memasukkan tangannya ke dalam tumpukan itu, dan
menghasilkan rasa sakit yang luar biasa dan pendarahan di keempat jari tangan
kanannya.

Kini ia lebih berhati-hati. Ia berlutut di sebelah kopernya, ia meraba-raba dasar
kopernya dan menemukan sebuah lencana tua yang berkedip-kedip antara
DUKUNG CEDRIG DIGGORY dan POTTER BAU, Teropong Musuh rusak yang
sudah tak bisa dipakai lagi, sebuah liontin emas dengan sebuah catatan dari
R.A.B. di dalamnya, dan akhirnya ia menemukan apa yang melukai jarinya. Ia
langsung mengenalinya. Sebuah pecahan cermin sepanjang lima senti pemberian
bapak baptisnya, Sirius. Harry meletakkannya dan melanjutkan mencari
peninggalan lain dari bapak baptisnya. Tapi yang tersisa hanya sisa pecahan
cermin yang tersebar di dasar kopernya.
Harry duduk dan memerhatikan cermin yang telah melukai jarinya, yang
dilihatnya hanyalah bayangan dari mata hijau cerahnya. Lalu ia meletakkan
pecahan cermin itu di atas Daily Prophet terbitan hari ini, yang tergeletak
begitu saja di atas tempat tidur.
Butuh empat jam penuh untuk mengosongkan koper, membuang yang tidak perlu,
memilih barang-barang apa yang akan kembali masuk ke dalam koper dan akan ia
bawa. Jubah sekolah, jubah Quidditich, kuali, perkamen, pena bulu, buku
sekolahnya, jelas ia akan meninggalkannya. Ia membayangkan apa yang akan
dilakukan oleh paman dan bibinya, mungkin mereka akan membakarnya,
menganggapnya seperti barang bukti kejahatan. Baju Muggle, Jubah Gaib, bahan
membuat ramuan, beberapa buku, album foto yang Hagrid berikan padanya,
setumpuk surat, dan tongkatnya, dipaksa masuk ke dalam ransel tuanya. Di
kantung depan, tersimpan Peta Perompak dan liontin dengan catatan dari R.A.B.
di dalamnya. Liontin itu begitu penting karena begitu banyak hal terjadi dalam
usaha untuk mendapatkannya.
Setumpuk koran tergeletak di meja sebelah burung hantu peliharaannya,
Hedwig, yang datang setiap hari selama Harry menghabiskan liburan musim
panasnya di Privet Drive.
Harry berdiri, meregangkan otot-ototnya, dan berjalan menuju meja. Hedwig
diam saja saat Harry mulai membuang koran-koran itu ke dalam tempat
sampah. Burung hantu itu sedang tidur, atau berpura-pura tidur. Ia sedang
marah pada Harry karena begitu jarang mengizinkannya keluar dari kandang.
Begitu tumpukan koran mulai menipis, Harry mencari satu edisi koran yang
terbit saat ia baru tiba di Privet Drive. Ia ingat bahwa di halaman depan
tercetak berita kecil tentang pengunduran diri Charity Burbage, guru Telaah
Muggle di Hogwarts. Dan ia menemukannya. Ia membuka halaman sepuluh, ia
duduk di kursinya dan mulai membaca ulang berita duka yang dicarinya.
MENGENANG ALBUS DUMBLEDORE
oleh Elphias Doge
Pertama kali aku bertemu dengan Albus Dumbledore adalah saat aku berusia
sebelas tahun, di hari pertama kami di Hogwarts. Ketertarikan kami berawal
saat kami diacuhkan oleh orang-orang. Aku baru saja terkena cacar naga sesaat
sebelum masuk sekolah, walaupun sudah tak lagi menular, bekas cacar kehijauan
itu membuat hanya sedikit orang berani mendekatiku. Sedangkan Albus, datang
ke sekolah membawa nama buruk. Beberapa tahun sebelumnya, ayahnya,
Percival, ditangkap karena telah menyerang tiga Muggle muda dengan kejam.
Albus tidak pernah mengelak bahwa ayahnya (yang meninggal di penjara
Azkaban) telah berbuat kesalahan. Sebaliknya, saat aku memberanikan diri
untuk bertanya, dia malah meyakinkanku bahwa ayahnya benar-benar bersalah.
Lalu, Dumbledore tidak akan melanjutkan ceritanya, tidak ingin membicarakan
hal-hal sedih, katanya. Walaupun banyak orang yang mengungkit-ungkit hal
tersebut. Beberapa di antaranya, memuji tindakan ayahnya, dan menganggap
bahwa Albus juga seorang pembenci Muggle. Tapi mereka benar-benar keliru.
Karena semua orang tahu bahwa Albus tidak pernah tertarik dengan gerakan
anti-Muggle. Malahan dia sangat mendukung hak-hak Muggle, yang membuatnya
memiliki banyak musuh dalam beberapa tahun terakhir.
Dalam beberapa bulan, nama Albus mulai lebih dikenal daripada nama
ayahnya. Di akhir tahun pertamanya, dia tak lagi dikenal sebagai anak dari
seorang pembenci Muggle, namun lebih dikenal sebagai siswa paling
cemerlang yang pernah ada di sekolah. Dan teman-temannya mendapatkan
banyak keuntungan darinya, termasuk pertolongan dan dorongan semangat
yang tulus darinya. Dan dia mengaku padaku bahwa dia menemukan
kesenangan tersendiri saat mengajar.
Dia tidak hanya memenangkan semua hadiah yang sekolah pernah tawarkan, dia
juga secara rutin berkoresponden dengan para penyihir hebat pada masanya,
termasuk Nicolas Flamel, alkemis kenamaan, Bathilda Bagshot, sejarahwati
terkemuka, dan Adalbert Waffling, ahli teori sihir. Beberapa esainya tiba-tiba
dipublikasikan di Transfiguration Today, Challenges in Charming, dan Practical
Potioneer. Karir masa depan Dumbledore sepertinya sudah terukir. Dan
pertanyaan yang tersisa hanyalah kapan kira-kira dia akan menjadi Menteri
Sihir. Walau sudah diprediksikan pekerjaan apa yang akan dia lakukan, dia tidak
pernah berkeinginan untuk bekerja di Kementrian.
Tiga tahun setelah dia memulai sekolahnya, saudara Albus, Aberforth, tiba di
sekolah. Mereka benar-benar tidak mirip. Aberforth bukanlah seorang kutu
buku seperti Albus. Dia lebih memilih untuk menyelesaikan masalah dengan
berduel daripada beradu argumen. Namun adalah kesalahan besar bila
menganggap kakak beradik ini tidak saling bersahabat. Mereka berteman
layaknya dua orang anak yang berbeda satu sama lain. Bagi Aberforth, tentu
sulit terus hidup di bawah bayang-bayang Albus. Berusaha terus-menerus untuk
menjadi lebih cemerlang, baik sebagai teman ataupun saudara. Saat Albus dan
aku lulus dari Hogwarts, kami berencana untuk berkeliling dunia bersama,
mengunjungi dan belajar dari penyihir lain, sebelum memulai karir masingmasing. Akan tetapi, sebuah tragedi terjadi. Pada malam keberangkatan kami,
ibu Albus, Kendra, meninggal, meninggalkan Albus sebagai kepala keluarga. Aku
menunda keberangkatanku cukup lama untuk dapat menghadiri penguburan
Kendra, dan melanjutkan perjalananku sendirian. Dengan adik-adik yang butuh
diurus, dan hanya sedikit emas yang tersisa, tidak mungkin Albus bisa
menemaniku.
Dan itu adalah suatu masa di mana kami jarang saling menghubungi. Aku menulis
pada Albus, keseluruhan perjalananku. Mulai dari bagaimanan aku berhasil lolos
dari Chimaera di Yunani, hingga bereksperimen dengan alkemis dari Mesir.
Suratnya kepadaku berisi tentang kesehariannya, yang menurutku tentu sangat
membosankan untuk seorang penyihir sehebat dirinya. Terbenam sendiri dalam
perjalananku, di tahun terakhir perjalananku, aku mendengar sebuah berita
duka, yang menyatakan bahwa Dumbledore mengalami tragedi lain, kematian
saudarinya, Ariana.
Walau Ariana memang sudah sakit-sakitan, kematiannya setelah kematian sang
ibu, sungguh mempengaruhi kedua saudaranya. Semua orang yang dekat dengan
Albus – dan aku menganggap diriku salah satu di antaranya – yakin bahwa Albus
merasa bertanggung jawab atas kematian Ariana, walaupun tentu saja, dia tidak
bersalah.
Saat aku kembali, aku telah menemui seorang pria muda yang sudah mengalami
banyak pengalaman layaknya pria berumur. Albus menjadi lebih berhati-hati
dan periang dari sebelumnya. Dan sebagai tambahan untuk kesengsaraannya,
hubungan dengan saudaranya Aberforth, mulai merenggang. Kemudian, dia mulai
jarang membicarakan keluarganya, dan teman-temannya belajar untuk tidak
mengungkitnya.
Cerita lain akan mengungkapkan keberhasilannya di tahun-tahun berikutnya.
Kontribusi Dumbledore yang tak terhitung untuk pengetahuan, termasuk
penemuannya atas dua belas fungsi dari darah naga yang memberi banyak
keuntungan untuk generasi selanjutnya. Begitu pula kearifan yang
ditunjukkannya dalam pengadilan saat dia menjadi Chief Warlock of
Wizengamot. Banyak yang berkata bahwa tidak ada pertarungan yang dapat
menandingi duel antara Dumbledore dengan Grindelwald di tahun 1945. Mereka
yang menjadi saksi mata, menggambarkan bagaimana kedua penyihir luar biasa
itu bertarung. Dan kemenangan Dumbledore, yang memengaruhi dunia sihir dan
menjadi titik balik sejarah sihir, atas kejatuhan Dia-yang-Namanya-Tak-BolehDisebut.
Albus Dumbledore tidak pernah membanggakan diri atau menjadi sombong. Dia
selalu menghargai tiap orang yang dia kenal, dan aku percaya bahwa semua
tragedi yang pernah dia alami membuatnya menjadi lebih memiliki rasa
kemanusiaan dan lebih mudah bersimpati. Aku akan sangat merindukan
persahabatan ini lebih dari yang bisa aku ungkapkan, namun rasa kehilangan ini
tidak akan memengaruhi dunia sihir. Dia telah menjadi inspirasi dan merupakan
Kepala Sekolah Hogwarts yang paling dicintai. Dia meninggal seperti saat ia
hidup, bekerja dengan kemampuannya yang terbaik hingga saat-saat
terakhirnya, sama seperti saat dia mengulurkan tangannya pada seorang anak
yang terkena cacar naga, saat pertama aku pertama kali bertemu dengannya.
Harry selesai membaca, namun terus menatap gambar yang terpampang di
sana. Dumbledore yang sedang tersenyum ramah, namun tatapan dari balik
kacamata bulan separonya memberikan kesan, walau dalam koran, seakan
menembus Harry dan merasakan kesedihan dan rasa malunya.
Harry merasa sudah sangat mengenal Dumbledore, namun sejak ia membaca
berita ini, ia menyadari bahwa ia hampir tidak mengenal Dumbledore sama
sekali, tak pernah sekali pun ia pernah membayangkan masa muda Dumbledore.
Rasanya ia hanya muncul begitu saja seperti saat Harry mengenalnya – tua,
berambut keperakan, dan baik hati. Gagasan atas Dumbledore saat remaja
sungguh aneh, seperti membayangkan bagaimana bodohnya Hermione, atau
seberapa ramah Skrewt-Ujung-Meletup. Harry tidak pernah berpikir untuk
menanyakan masa lalu Dumbledore. Ia yakin akan aneh dan kurang sopan. Namun,
merupakan pengetahuan yang umum tentang pertarungan luar biasa antara
Dumbledore dan Grindelwald, dan Harry tidak pernah bertanya bagaimana
kejadiannya, atau semua pencapaiannya yang membuatnya terkenal. Tidak,
mereka selalu berbicara tentang Harry – masa lalu Harry, masa depan Harry,
rencana Harry, dan bagaimana Harry saat ini – memberitahu bahwa masa depan
Harry begitu berbahaya dan tidak pasti. Namun ia melepaskan semua
kesempatan untuk bertanya tentang Dumbledore. Bahkan pertanyaan pribadi
yang pernah ia tanyakan pada kepala sekolahnya, mungkin tidak dijawab
sungguh-sungguh oleh Dumbledore.
"Apa yang Anda lihat saat Anda melihat ke cermin?"
"Aku? Aku melihat diriku memegang sepasang kaus kaki wol tebal."
Setelah beberapa menit berpikir, Harry merobek berita itu, melipatnya hatihati dan menyelipkannya ke dalam buku Pertahanan Sihir dan Penggunaannya
untuk Melawan Ilmu Hitam. Lalu ia membuang sisa koran itu ke tempat sampah
dan melihat kamarnya.
Kamarnya jauh lebih rapi. Yang tersisa hanyalah Daily Prophet edisi hari ini,
masih tergeletak di atas tempat tidur, yang di atasnya ada pecahan cermin.
Harry berjalan menuju tempat tidurnya, menggeser pecahan cermin dan
membuka koran. Ia telah melihat tajuknya saat gulungan koran itu baru diantar
oleh burung hantu, namun tidak ada berita tentang Voldemort. Harry yakin
bahwa Kementrian telah menekan Prophet untuk tidak memberitakan Voldemort.
Tapi sepertinya ada sesuatu yang ia lewatkan.
Di bagian tengah di halaman pertama, tajuk yang lebih kecil dengan potret
Dumbledore berjalan gelisah.
DUMBLEDORE – KEBENARAN?
Minggu depan, cerita yang mengejutkan tentang penyihir jenius yang dianggap
sebagai penyihir terhebat pada masanya. Mematahkan imej seorang penyihir
berjanggut keperakan yang tenang dan bijaksana. Rita Skeeter mengungkapkan
masa kanakkanaknya yang kurang menyenangkan, masa muda yang tidak
mengenal hukum, dan masa hidup yang penuh perseteruan, dan rahasia yang
Dumbledore bawa hingga ke liang kuburnya. MENGAPA seseorang yang dapat
menjadi seorang Menteri Sihir hanya menjadi kepala sekolah? APA tujuan
sebenarnya dari organisasi rahasia yang diketahui sebagai Orde Phoenix?
BAGAIMANA Dumbledore meninggal?
Jawaban dari pertanyaan di atas dan banyak pertanyaan lain akan dibahas dalam
biografi 'Kehidupan dan Kebohongan Albus Dumbledore', yang ditulis oleh Rita
Skeeter, wawancara eksklusif bersama Betty Braithwaite, halaman 13.
Harry membuka korannya dan menemukan halaman tiga belas. Artikel itu
berada di bagian atas halaman dengan potret wajah yang sudah Harry kenal.
Seorang wanita dengan kacamata hias dan rambut pirang ikal, dengan senyum
kemenangan yang menunjukkan giginya yang berjajar rapi, menggelungkan
jari-jarinya ke arahnya. Berusaha untuk tidak peduli pada potret yang
memuakkan itu, Harry mulai membaca.
Sebenarnya Rita Skeeter adalah pribadi yang hangat dan lembut bila
dibandingkan dengan artikelnya yang ganas. Menyambutku di rumahnya yang
nyaman. Dia langsung mengajakku ke dapur, menyeduhkanku secangkir teh, dan
memberikan sepotong kue, dan pembicaraan tentang gosip terhangat pun mulai
mengalir.
"Ya, tentu saja, Dumbledore adalah sebuah mimpi bagi penulis biografi," kata
Skeeter. "Hidupnya yang panjang. Aku yakin bukuku adalah yang pertama
karena akan banyak pula yang lain."
Skeeter bekerja cukup cepat. Buku setebal sembilan ratus halaman ini hanya
ditulis dalam jangka waktu empat minggu setelah kematian misterius
Dumbledore di bulan Juni. Aku bertanya padanya bagaimana dia bisa
menyelesaikannya begitu cepat.
"Oh, bila engkau telah menjadi jurnalis seperti aku, bekerja dengan tenggat
waktu yang pendek akan menjadi kebiasaan. Aku mengerti bahwa dunia sihir
sangat menanti untuk mengetahui cerita selengkapnya, dan aku ingin menjadi
orang pertama yang memenuhi keinginan mereka."
Aku mengatakan padanya tentang komentar Elphias Doge, Special Advisor to
the Wizengamot, yang merupakan teman lama Albus Dumbledore yang
menyatakan bahwa "Fakta-fakta yang ditulis Skeeter, tidak lebih dari fakta
yang tertulis di kartu Cokelat Kodok."
Skeeter berpaling dan tertawa.
"Dodgy sayang! Aku ingat saat aku mewawancarai dia beberapa tahun lalu
tentang hakhak para duyung, terberkatilah dia. Benar-benar konyol, sepertinya
kami hanya dudukduduk di dasar danau Windermere, dan dia terus
mengingatkanku untuk berhati-hati dengan ikan trout."
Belum lagi tuduhan Elphias Doge atas ketidak-akuratan yang tersebar di manamana. Apakah Skeeter benar-benar merasa bahwa empat minggu merupakan
waktu yang cukup untuk mengumpulkan data atas kehidupan Dumbledore yang
panjang dan tidak biasa?
"Oh, sayang," kata Skeeter, mengingatkanku dengan penuh kasih, "kau sama
tahunya dengan diriku, sebanyak apa informasi yang dapat kita kumpulkan
dengan sekantung penuh Galleon, berkeras menolak kata ‘tidak’, dan sebuah Pena
Bulu Kutip Kilat! Orang-orang mengantri untuk mendapat remah-remah dari
Dumbledore. Tidak semua orang berpikir bahwa dia begitu hebat, kau tahu – dia
suka cari masalah dengan banyak orang penting. Tapi si Dodge tua itu tidak bisa
menyangkal karena aku telah mendapatkan sumber yang membuat tiap jurnalis
mau menukarnya bahkan dengan tongkat mereka. Seseorang yang tidak pernah
berbicara di depan publik sebelumnya dan begitu dekat dengan Dumbledore
pada masa mudanya."
Biografi yang Skeeter tulis tentunya akan mengejutkan setiap orang yang
percaya bahwa Dumbledore memiliki hidup bersih tanpa kesalahan. Apa rahasia
yang paling mengejutkan yang engkau temukan, tanyaku.
"Cukup, Betty, aku tidak akan memberitahukan berita terhebat sebelum
orang-orang membeli bukuku!" tawa Skeeter. "Tapi aku meyakinkanmu bahwa
setiap orang yang percaya bahwa hidup Dumbledore seputih janggutnya akan
sadar! Anggap saja orang-orang tidak tahu semarah apa dia, saat Kau-TahuSiapa tahu bahwa dia pernah menganut Ilmu Hitam pada masa mudanya! Ya,
Albus Dumbledore memiliki masa lalu yang begitu kelam, belum lagi
keluarganya yang mencurigakan, dimana dia selalu berusaha untuk
menyembunyikannya."
Aku bertanya apakah yang Skeeter maksud adalah saudara Dumbledore,
Aberforth, yang dinyatakan bersalah oleh Wizengamot atas skandal lima belas
tahun lalu.
"Oh, Aberforth hanyalah bagian kecil," tawa Skeeter. "Tidak, tidak, aku
berbicara tentang sesuatu yang lebih buruk dari kegemaran saudaranya yang
suka bermain-main dengan kambing, lebih buruk ayahnya yang pembenci Muggle
– Dumbledore tidak dapat meredamnya tentu saja, keduanya dianggap bersalah
oleh Wizengamot. Bukan juga ibu dan saudarinya yang menggugah rasa ingin
tahuku. Kalian harus membaca bab sembilan hingga dua belas agar tahu lebih
lengkap. Dan tidak heran pula mengapa Dumbledore tidak pernah bercerita
bagaimana hhidungnya patah."
Walaupun begitu, apakah Skeeter mengelak dari kecemerlangan
Dumbledore yang membuatnya menghasilkan banyak penemuan?
"Dia memang pintar," akunya, "walaupun banyak pertanyaan yang muncul apakah
hanya dia sendiri yang berhak atas segala penemuannya, seperti yang aku
ungkapkan di bab enam belas. Ivor Dillonsby telah menyatakan bahwa dia telah
menemukan delapan fungsi darah naga sebelum Dumbledore mempublikasikan
esainya."
Tapi beberapa hal penting yang dilakukan Dumbledore tidak dapat dapat
disangkal, kataku. Bagaimana dengan pertarungannya dengan Grindelwald?
"Oh, aku benar-benar senang akhirnya kau menanyakan hal itu," kata Skeeter
dengan senyumnya yang menggoda. "Sepertinya kemenangan spektakuler
Dumbledore pun tak lebih dari sekadar omong kosong. Jangan begitu yakin
bahwa telah terjadi sebuah pertarungan hebat yang melegenda. Setelah
engkau membaca bukuku, engkau akan tahu bahwa sebenarnya Grindelwald
telah mengibarkan saputangan putihnya dan menyerah begiru saja."
Skeeter menolak untuk memberi penjelasan lebih lanjut pada subjek yang
menarik ini. Lalu kami melanjutkan pada sevuah hubungan yang akan membuat
pembaca terkagumkagum.
"Oh, ya," kata Skeeter, mengangguk dengan tenang, "aku mencurahkan satu bab
penuh untuk membahas hubungan Potter-Dumbledore. Yang ternyata merupakan
hubungan yang tidak sehat, menakutkan bahkan. Sekali lagi, para pembaca harus
membeli bukuku untuk mengetahui cerita lengkapnya. Walau Dumbledore tidak
mengambil keuntungan dari hubungan yang aneh ini, malah si bocah yang
mendapat semua keuntungannya. Dan ini juga membuktikan bahwa Potter
memiliki masa remaja yang penuh masalah."
Aku bertanya apakah Skeeter masih berhubungan dengan Harry Potter, yang
telah membuatnya begitu terkenal karena wawancara tahun lalu. Sebuah
wawancara eksklusif dengan Potter tentang kembalinya Kau-Tahu-Siapa.
"Oh, ya, kami menjadi sangat dekat," kata Skeeter. "Potter yang malang hanya
memiliki sedikit teman baik, dan kami bertemu pada saat terberat dalam masa
hidupnya – Turnamen Triwizard. Mungkin aku satu-satunya orang yang masih
hidup yang tahu siapa Harry Potter sebenarnya."
Hal ini membuat kami membicarakan tentang rumor yang beredar tentang
detik-detik terakhir Dumbledore. Apakah Skeeter percaya bahwa Potter ada
di dekat Dumbledore saat kematiannya?
"Wah, aku tidak bisa berkata banyak – semuanya ada di buku – tapi saksi mata
yang ada di Hogwarts melihat Potter berlari dari tempat kejadian sesaat
setelah Dumbledore jatuh, melompat, atau didorong. Potter kemudian memberi
keterangan melawan Severus Snape, seorang pria yang tentunya akan
mendendam karenanya. Apakah semua yang kita lihat benar-benar seperti yang
kita lihat? Itu yang harus ditentukan oleh para komunitas sihir – setelah
mereka membaca bukuku." PDF by Kang Zusi
Aku mencatat dengan rasa ingin tahu yang mulai tumbuh. Dan tidak diragukan
lagi bahwa buku Skeeter akan menjadi bestseller. Sementara para pengagum
Dumbledore akan gemetar mengetahui siapa sebenarnya pahlawan mereka.
Harry telah membaca habis artikel itu, namun terus menatap kosong pada
halaman itu. Rasa marahnya tiba-tiba memuncak dan membuatnya muak. Ia
menutup koran itu dan melemparnya ke dinding, yang lalu terjatuh di sekitar
tempat sampah bersama sampah lain yang tak kebagian tempat karena
tempat sampah yang terlalu penuh.
Harry mencoba menyibukkan diri, membuka laci kosong dan memasukkan bukubuku yang seharusnya berada di sana, lalu kata-kata Rita bermunculan di
kepalanya satu bab penuh tentang hubungan Potter-Dumbledore… yang bisa
dibilang tidak sehat, menakutkan bahkan… ia menganut Ilmu Hitam di masa
mudanya… aku telah mendapatkan sumber yang dapat membuat setiap jurnalis
mau menukarnya dengan tongkat mereka…
"Pembohong!" teriak Harry, dari jendela terlihat tetangganya yang berhenti
memotong
rumput karena kaget, dan melihatnya dengan gugup.
Harry duduk di tempat tidurnya. Pecahan cermin itu meluncur menjauh
darinya, ia
mengambilnya dan memainkannya dalam jari-jarinya. Ia berpikir,
memikirkan
Dumbledore dan semua kebohongan yang Rita Skeeter karang…
Sekilas terlihat biru terang. Harry membeku, jari-jarinya yang terluka
memegangi ujung
cermin yang tadi melukainya. Ia tidak berkhayal, hal itu benar-benar terjadi. Ia
menoleh,
namun yang terlihat hanya dinding berwarna krem pucat pilihan bibi Petunia, dan
tidak
ada yang berwarna biru yang bisa dipantulkan cermin itu. Ia melihat ke dalam
cermin itu,
tapi yang bisa ia lihat hanya bayangan mata hijaunya yang cerah.
Ia hanya berkhayal, hanya itu penjelasannya. Berkhayal, karena ia tengah
memikirkan
kematian kepala sekolahnya. Tapi bila itu benar terjadi, tadi adalah warna biru
terang dari
mata Albus Dumbledore.

PostHeaderIcon Bab 1: The Dark Lord Ascending (Bangkitnya Pangeran Kegelapan)



Dua orang itu muncul secara tiba-tiba, terpisah beberapa meter di sebuah
jalan sempit yang diterangi oleh cahaya bulan. Sesaat mereka berdiri diam,
tongkat masing-masing saling terarah ke dada yang lain. Setelah mengenali
satu sama lain, mereka menyimpan tongkat masing-masing dibalik jubah dan
mulai berjalan cepat ke arah yang sama.
"Bagaimana?" tanya orang yang paling tinggi dari
keduanya. "Sempurna," jawab Severus Snape.
Jalan kecil itu dikelilingi oleh semak liar yang rendah disebelah kiri, pagar
tanaman yg tinggi dan terawat disebelah kanan. Jubah panjang mereka
berkibar selagi mereka berjalan bersama.

"Kupikir aku akan terlambat," ujar Yaxley, tubuh lebarnya terlihat dan
menghilang di bawah cahaya bulan yang terhalang dedaunan. "Sedikit lebih rumit
dari yang kukira, tapi kuharap dia puas. Kedengarannya kau yakin bahwa
sambutanmu akan bagus?"
Snape hanya mengangguk tanpa memberikan penjelasan. Mereka berbelok ke
kanan, ke arah jalan raya yang lebar yang menjadi ujung jalan kecil itu. Pagar
tanaman tinggi yang mengelilingi mereka membelok di kejauhan, di belakang
pagar besi yang menghalangi jalan kedua lelaki itu.
Tidak satu pun dari mereka menghentikan langkah: dalam kesunyian keduanya
mengangkat lengan kiri mereka dalam penghormatan lalu berjalan menembusnya,
seakan pagar logam berwarna gelap itu hanyalah asap.
Pagar tanaman itu seakan meredam suara langkah kaki mereka. Terdengar
sebuah desikan di suatu tempat di sisi kanan mereka : Yaxley mengacungkan
tongkatnya lagi, mengarahkannya melewati kepala kawannya, tapi sumber
desikan itu ternyata hanyalah seekor burung merak putih yang berjalan dengan
angkuh disepanjang puncak pagar tanaman itu. "Selalu berkecukupan, Lucius.
Burung merak..." Yaxley memasukkan tongkat sihirnya dibalik jubah sambil
mendengus.
Rumah bangsawan yang menawan itu terlihat dalam kegelapan di ujung jalan,
cahaya berkilau dari jendela berpanel silang di lantai bawah. Di bagian kebun
yang gelap, air mancur bergemericik. Kerikil berbunyi di bawah kaki mereka
ketika Snape dan Yaxley mempercepat langkah mereka menuju pintu depan
yang mengayun terbuka kedalam ketika mereka mendekat, meskipun tak ada
yang membukanya.
Koridor yang mereka lewati berukuran lebar, cahayanya redup, dan dihiasi
dengan indah, permadani mewah menutupi sebagian besar lantai batu. Mata
beberapa lukisan berwajah pucat yang tergantung di dinding mengikuti Snape
dan Yaxley selagi mereka lewat. Langkah dua pria tersebut terhenti di depan
pintu kayu besar yang menuju ruang berikutnya, dan berhenti sejenak untuk
mengatur napas, lalu Snape memutar gagang pintu perunggu.
Ruang tamu dipenuhi orang-orang yang duduk membisu mengelilingi meja hias.
Perabotan yang biasanya menghias ruangan itu telah disingkirkan hingga merapat
ke dinding. Penerangan ruangan itu berasal dari perapian pualam indah yang
disepuh kaca. Snape dan Yaxley berdiri di ambang pintu. Setelah mata mereka
terbiasa dengan cahaya yang redup, mereka melihat pemandangan yang sangat
aneh: sosok manusia yang tak sadarkan diri tergantung aneh; terbalik; jauh
diatas meja, sesuatu berputar pelan seperti digerakkan suatu benang yang tidak
terlihat, dan bayangannya terpantul cermin di atas permukaan meja yang
mengilat. Tidak seorang pun yang melihat ke atas, kecuali pemuda berparas
pucat yang duduk hampir tepat di bawahnya. Sepertinya dia tidak mampu
menahan diri untuk melihat ke atas tiap menit.
"Yaxley. Snape," terdengar suara jelas bernada tinggi dari ujung meja.
"Kalian hampir terlambat."
Sosok yang berbicara duduk tepat di depan perapian, membuat kedua orang
itu hanya bisa melihat siluetnya. Saat mereka mendekat, terlihat wajah
bersinar dalam kegelapan, tidak memiliki rambut, seperti ular, dengan celah
lubang hidung, dan pupil matanya berwarna merah vertikal. Wajahnya pucat
seolah-olah memancarkan cahaya seputih mutiara.
"Severus, kemari," Voldemort menunjuk tempat duduk yang berada tepat
disebelah kanannya. "Yaxley- kau disamping Dolohov."
Dua laki- laki itu mengambil tempat yang disediakan untuk mereka. Setiap mata
disekitar meja memandang Snape, dan kepadanyalah Voldemort memulai
pembicaraan.
"Jadi?"
"Tuanku, Orde Phoenix berniat memindahkan Harry Potter dari tempat
perlindungan yang selama ini ditempatinya, sabtu depan, menjelang malam."
Ketertarikan di sekitar meja memuncak: Beberapa terdiam, yang lain
gelisah, semua menatap ke arah Snape dan Voldemort.
"Sabtu... menjelang malam," ulang Voldemort. Mata merahnya menatap mata
Snape yang hitam dan mampu membuat beberapa orang memalingkan wajah,
mereka terlihat ketakutan seakan-akan mereka akan dibakar oleh keganasan
tatapan itu. Snape, meskipun begitu, balas menatap Voldemort dengan santai,
dan beberapa saat kemudian, mulut tanpa bibir Voldemort melekuk membentuk
senyuman.
"Bagus. Bagus sekali. Dan informasi ini datangnya - "
" - dari sumber yang pernah kita bicarakan," kata Snape.
"Tuanku."
Yaxley memajukan tubuhnya ke depan meja, sehingga dia dapat melihat
Voldemort dan Snape. Semua wajah mengarah padanya.
"Tuanku, berita yang kudengar berbeda."
Yaxley menunggu, tetapi Voldemort tidak berbicara, lalu dia melanjutkan,
"Dawlish, salah satu Auror, mengatakan bahwa Potter tidak akan dipindahkan
sampai tanggal tiga puluh, malam sebelum dia berusia tujuh belas."
Snape tersenyum.
"Sumberku mengatakan ada rencana palsu untuk menipu kita, rencana itulah
yang pasti palsu. Tidak diragukan lagi, Dawlish terkena Mantra Confundus. Ini
bukan pertama kalinya; dia dikenal karena kepekaannya."
"Aku jamin, Tuanku. Dawlish tampak sangat yakin," kata Yaxley.
"Jika dia berada dalam kutukan Confundus, tentu saja dia terlihat sangat
yakin," kata Snape. "Kuberitahukan padamu, Yaxley, kantor Auror tidak lagi
ikut campur masalah perlindungan Harry Potter. Orde tahuu bahwa kita telah
menyusup ke dalam Kementerian."
"Akhirnya Orde benar kali ini, eh?" kata pria bungkuk yang duduk tidak
jauh dari Yaxley; dia mengeluarkan tawa aneh yang diikuti tawa lain di
sekitar meja.
Tetapi Voldemort tidak tertawa. Tatapannya terarah ke atas pada tubuh
yang berputar pelan, dan dia terlihat tenggelam dalam pikirannya.
"Tuanku," Yaxley meneruskan, "Dawlish yakin sekelompok Auror akan dipakai
dalam pemindahan anak itu -"
Voldemort mengangkat tangannya putihnya yang panjang, dan Yaxley terdiam,
menatap kecewa ketika Voldemort berpaling lagi pada Snape.
"Dimana anak itu akan disembunyikan nantinya?"
"Disalah satu rumah milik anggota Orde," kata Snape. "Tempatnya, menurut
sumber, telah dilindungi dengan semua perlindungan yang dapat diberikan Orde
dan Kementerian. Kurasa hanya ada sedikit kemungkinan bagi kita untuk
membawanya dari sana, Tuanku, kecuali Kementerian berhasil kita kuasai
sebelum sabtu depan, memberikan kita kesempatan untuk menemukan dan
menghapus semua mantra yang ada di tempat itu."
"Baiklah, Yaxley?" Voldemort menatap ke arah meja, nyala api berkilat aneh di
matanya, "Akankah Kementerian kita kuasai Sabtu depan?"
Sekali lagi, semua kepala beralih, Yaxley mencondongkan bahunya.
"Tuanku, aku mempunyai berita bagus mengenai hal itu. Aku berhasil - dengan
beberapa kesulitan rupanya, dan usaha yang maksimal - memantrai Pius
Thickneese dengan kutukan Imperius."
Beberapa orang yang duduk di sekitar Yaxley tampak terkesan, seseorang di
sampingnya, Dolohov, pria berwajah panjang dan berkerut, menepuk punggung
Yaxley.
"Awal yang bagus," kata Voldemort. "Tapi Thicknesse seorang tidaklah cukup.
Scrimgeour harus dikelilingi oleh orang orang kita sebelum kita beraksi. Satu
kesalahan dalam pengambilan nyawa Kementerian akan membuatku kembali
menempuh jalan yang panjang."
"Ya - Tuanku, itu benar - tetapi kau tahu, sebagai Kepala Departemen
Pelaksanaan Hukum Sihir, Thicknesse tidak hanya memiliki kontak dengan
Menteri Sihir, tetapi juga dengan semua kepala departemen di Kementerian. Hal
itu, kupikir, akan menjadi mudah karena pejabat tinggi berada di bawah kendali
kita, dan mereka akan mempengaruhi yang lain, mereka akan bekerja sama untuk
menjatuhkan Scrimgeour."
"Selama teman kita Thicknesse tidak ketahuan sebelum dia mempengaruhi yang
lain," kata Voldemort. "Bagaimanapun juga, Kementerian akan menjadi milikku
sebelum sabtu depan. Jika kita tidak bisa menyentuh anak itu di tempat
tujuannya, maka kita harus melakukannya saat dia sedang dalam perjalanannya."
“Kita memiliki keuntungan, Tuanku,” kata Yaxley, yang tampak meminta
dukungan. "Sekarang kita memiliki beberapa orang di Departemen
Transportasi Sihir. Jika Potter ber–Apparate atau menggunakan jaringan
Floo, kita akan segera tahu di mana dia berada.”
“Dia tidak akan melakukannya,” kata Snape. "Orde tidak akan menggunakan
segala bentuk transportasi yang dikontrol dan diatur oleh Kementerian;
mereka tidak mempercayai apapun yang dikerjakan Kementerian.”
"Akan lebih baik,” kata Voldemort. ”Dia akan dipindahkan secara terbuka. Lebih
mudah untuk ditangkap, pasti!”
Sekali lagi Voldemort mendongak dan melihat tubuh yang terus berputar pelan
selagi dia bicara. ”Aku akan mengurus anak itu sendirian. Terlalu banyak
kesalahan yang melibatkan Harry Potter. Sebagian kesalahan tersebut akulah
yang membuatnya. Potter selamat akibat kesalahanku dan bukan karena
keberhasilannya.”
Sekelompok penyihir di sekitar meja memperhatikan Voldemort dengan penuh
kekhawatiran, beberapa dari mereka, terlihat dari ekspresi mereka, merasa
takut mereka bisa saja disalahkan karena keberadaan Harry Potter yang masih
ada sampai saat ini. Bagaimanapun, ucapan Voldemort sepertinya lebih ditujukan
untuk dirinya sendiri daripada kepada sekelompok orang di ruangan itu,
pandangannya masih tertuju pada sosok yang tak sadarkan diri di atasnya.
“Aku telah ceroboh, dan tentu saja dihalangi oleh kesempatan dan
keberuntungan, semua rencana yang kulakukan hanya menghasilkan rencana
kosong yang tidak tercapai. Tapi sekarang aku tahu sesuatu yang lebih baik.
Aku mengerti beberapa hal yang tidak kumengerti sebelumnya. Jika ada orang
yang harus membunuh Harry Potter, orang itu adalah aku.”
Ketika Voldemort mengucapkan kata-kata tersebut, terdengar sesuatu seperti
tanggapan atas perkataan itu, terdengar suara ratapan, dan berlanjut suara
tangisan kesengsaraan dan kesakitan. Beberapa orang melihat terkejut sambil
melihat ke bawah meja, karena suara tersebut seakan-akan berasal dari kaki
mereka sendiri.
"Wormtail," kata Voldemort, tanpa perubahan dalam ketenangan suaranya, dan
tanpa mengalihkan pandangan dari sosok tubuh yang berputar diatasnya,
"Bukankah aku sudah menyuruhmu untuk membuat tawanan kita tetap diam?"
“Ya, T- Tuanku,” sahut penyihir kecil yang duduk begitu rendah di kursinya,
orang-orang meliriknya, dan kemudian mengabaikannya. Dia bangkit dari tempat
duduknya lalu berlalu cepat dari ruangan itu tanpa meninggalkan apapun kecuali
kilauan benda perak.
“Seperti yang telah kusampaikan,” lanjut Voldemort, sambil melihat wajah
tegang para pengikutnya, "Aku lebih mengerti kali ini. Saat ini juga aku harus
meminjam tongkat salah satu dari kalian sebelum aku membunuh Potter.”
Semua wajah menunjukkan keterkejutan yang luar biasa; seakan Voldemort
memberitahu mereka bahwa dia ingin meminjam salah satu lengan mereka.
"Tidak ada sukarelawan?" kata Voldemort. "Kalau begitu... Lucius, aku tidak
melihat alasan bahwa kau masih memerlukan tongkatmu."
Lucius Malfoy mengangkat kepalanya. Kulitnya terlihat kekuningan dan
seperti lilin dalam cahaya api, dan matanya cekung serta berbayang. Saat
dia berbicara, suaranya terdengar parau.
"Tuan?"
"Tongkatmu, Lucius. Aku ingin tongkatmu."
"Aku..."
Malfoy melirik istrinya yang duduk di sampingnya. Istrinya menatap ke depan,
wajahnya sama pucatnya seperti suaminya, rambut pirangnya yang panjang
tergerai di bahunya, namun tersembunyi di bawah meja, jari-jari kurusnya
memegang erat tangan Lucius. Dengan sentuhannya, Malfoy menarik tongkat
yang terselip dijubahnya dan menyerahkannya pada Voldemort yang mengangkat
tongkat itu, mata merahnya memperhatikan tongkat itu dengan seksama.
“Apa jenis kayunya?”
"Elm, Tuanku," bisik Malfoy.
"Dan intinya?"
"Naga - Serabut hati naga."
“Bagus,” kata Voldemort. Dia menarik tongkatnya sendiri dan membandingkan
ukuran panjangnya. Lucius Malfoy membuat gerakan tak disengaja; sekejap
kemudian, dia tampak berharap menerima tongkat milik Voldemort untuk
ditukar dengan miliknya. Gerakan itu terlihat oleh Voldemort, matanya
melebar penuh kedengkian.
"Kau pikir aku akan memberikan tongkatku, Lucius? Tongkatku?"
Beberapa orang terkikik.
“Aku telah memberikan kau kebebasan, Lucius, apa itu tidak cukup untukmu?
Dan dari apa yang kuperhatikan, kau dan keluargamu tampak tidak bahagia
akhir-akhir ini. Apakah kehadiranku di rumahmu sangat mengganggumu,
Lucius?”
“Tidak – Tidak sama sekali, Tuanku!”
“Kau berbohong Lucius … “
Terdengar suara mendesis yang bahkan membuat mulut kejam tersebut
berhenti bergerak. Satu atau dua penyihir menunjukkan rasa takut saat desisan
tersebut terdengar lebih keras; sesuatu yang berat terdengar sedang berjalan
di bawah meja.
Seekor ular besar muncul dan memanjat perlahan menuju kursi Voldemort. Ular
itu terus berjalan naik dan melingkar pada bahu Voldemort. Tebal leher ular itu
sama dengan paha manusia, matanya dengan pupil celah vertikal, tidak bekedip.
Voldemort menyentuh pelan makhluk tersebut dengan jarinya yang kurus dan
panjang, matanya masih menatap Lucius Malfoy.
"Menapa keluarga Malfoy terlihat tidak bahagia dengan keadaan mereka saat
ini? Apakah dengan kembalinya aku, kebangkitanku untuk menguasai dunia bukan
hal yang mereka inginkan beberapa tahun terakhir ini?”
“Tentu, Tuanku,” kata Lucius Malfoy. Tangannya bergetar saat dia menghapus
keringat di atas bibirnya. “Kami menginginkannya – Sangat.”
Di sisi kiri Malfoy, istrinya bergerak aneh, mengangguk kaku, matanya teralih
dari Voldemort ke ularnya. Di kanannya, anaknya Draco, yang tengah menatap
tubuh yang tidak berdaya di atas, melirik sekilas pada Voldemort dan langsung
berpaling, dia terlalu takut melakukan kontak mata dengan Voldemort.
“Tuanku,” kata seorang wanita berkulit gelap di pinggir meja barisan tengah,
suaranya penuh dengan emosi, "Suatu kehormatan Anda berada di sini, di
keluarga kami. Tidak ada kehormatan yang lebih baik daripada ini semua."
Dia duduk di sebelah saudarinya, dan tidak memiliki kemiripan dengan
saudarinya, rambutnya gelap dan pelupuk matanya tebal, dia terlihat sangat
tegas dan rendah diri di hadapan Voldemort, sedangkan Narcissa duduk diam
dan kaku. Bellatrix memajukan dirinya ke depan meja, tidak ada yang bisa
menjelaskan kerinduannya untuk lebih mendekat.
"Tidak ada kehormatan yang melebihi ini," ulang Voldemort, kepalanya
dimiringkan ke arah lain seolah dia menilai Bellatrix. “Aku menganggapnya
sebuah persetujuan, Bellatrix, darimu.”
Wajahnya seketika berwarna; air mata kebahagiaan mengalir dari matanya.
"Tuanku tahu aku mengatakan kebenaran."
"Tidak ada kehormatan yang melebihi ini... bahkan jika dibandingkan dengan
pesta besar, yang kudengar berlangsung di kediaman keluargamu minggu ini?”
Mata Bellatrix terbelalak, bibirnya membuka, dan dia terlihat kebingungan.
“Saya tidak mengerti maksud anda, Tuanku.”
“Aku membicarakan keponakanmu, Bellatrix. Dan tentunya keponakan kalian juga,
Lucius dan Narcissa. Dia baru menikah dengan si manusia serigala, Remus Lupin.
Kalian pasti merasa bangga.”
Terdengar tawa mencemooh di sekitar meja. Beberapa wajah maju ke depan
untuk memperlihatkan sirat kegembiraan; yang lain memukul meja dengan tinju
mereka. Ular besar, yang membenci keributan, membuka mulutnya lebar dan
mendesis marah, tetapi para Pelahap Maut tidak mendengarnya, mereka
menikmati penghinaan yang ditujukan pada Bellatrix dan keluarga Malfoy.
Wajah Bellatrix, yang berseri gembira, seketika berubah seakan-akan
ditumbuhi bisul jelek dan merah.
“Dia bukan keponakan kami, Tuanku,” dia menangis saat yang lain terlihat
gembira. “Kami – Narcissa dan aku – tidak pernah berhubungan dengan
saudara kami sejak dia menikah dengan si darah lumpur. Anak itu tidak punya
hubungan apapun dengan kami berdua, begitu juga binatang buas yang dia
nikahi.”
“Bagaimana denganmu, Draco?” tanya Voldemort, suara pelannya mampu
menyaingi ledekan dan cemohoohan. “Apakah kau akan merawat anaknya itu?”
Kegembiraan memuncak, Draco Malfoy menatap ngeri pada ayahnya, yang
hanya menunduk melihat kakinya sendiri, lalu beralih menatap ibunya. dia
menggelengkan kepalanya nyaris tak terlihat, dan kembali menatap lurus ke
arah dinding yang berlawanan.
“Cukup,” kata Voldemort, menepuk ular yang marah. “Cukup.”
Dan tawapun langsung berhenti.
“Kebanyakan generasi sejak generasi tertua kita semakin lama semakin
terinfeksi,” dia berbicara saat Bellatrix menatapnya, sambil menahan napas
dan memohon, "Kau harus menjaga generasi keluargamu, tetap menjaganya
sehat dengan memotong komponen yang mengancam kemakmurannya."
"Ya Tuanku," bisik Bellatrix, dan sekali lagi matanya dipenuhi air mata
terimakasih. "Dikesempatan pertama!"
“Kau harus melakukannya,” kata Voldemort. "Di keluarga kalian, juga didunia...
kita akan membuang penyakit yang menginfeksi kita sampai hanya mereka
yang berdarah murni yang tersisa...”
Voldemort mengangkat tongkat Lucius Malfoy, mengarahkannya langsung pada
sosok yang berputar pelan yang terikat terbalik di atas meja, dan memberinya
sedikit jentikkan. Sosok itu mulai sadar dengan rintihan dan mulai berusaha
melepaskan ikatan tak terlihat yang mengikatnya.
"Apa kau mengenali tamu kita, Severus?” tanya Voldemort.
Snape mendongak dan melihat pada wajah kacau balau yang terikat terbalik
itu. Semua Pelahap Maut menatap tawanan itu, seolah mereka diberi izin untuk
memperlihatkan keingintahuan mereka. Saat wanita itu berputar menghadap
perapian, wanita itu mengeluarkan suara ketakutan dan gemetar, “Severus!
Tolong aku!”
“Ah, ya,” kata Snape ketika tawanan itu berputar pelan sekali lagi.
“Dan kau, Draco?” tanya Voldemort, menepuk pelan moncong ular itu
dengan tongkatnya. Draco menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Saat
wanita itu kembali terbangun, Draco tidak mampu melihatnya lagi.
"Kau tidak perlu mengambil kelasnya," kata Voldemort. "Bagi kalian yang belum
tahu, kita kedatangan seseorang untuk bergabung dengan kita malam ini, Charity
Burbage yang, sampai beberapa waktu yang lalu, mengajar di sekolah Sihir
Hogwarts.”
Terdengar bisikan kecil yang penuh dengan pemahaman. Di atasnya, gigi wanita
tersebut bergemelutuk.
“Ya … Professor Burbage mengajar para penyihir muda tentang Muggle... bahwa
mereka tidak berbeda dari kita... “
Salah satu Pelahap Maut meludah ke lantai. Charity Burbage berputar
menatap Snape sekali lagi.
"Severus... kumohon... tolong..."
"Diam," kata Voldemort, menjentikkan tongkat Malfoy, dan Charity langsung
terdiam. "Merasa kurang dengan mengotori dan merusak pikiran para penyihir
muda, minggu lalu Profesor Burbage menulis ketertarikan pada Darah Lumpur di
Daily Prophet. Dia berkata, penyihir harus menerima pengetahuan dan sihir dari
para pencuri tersebut. Berkurangnya darah murni, Profesor Burbage berkata,
adalah keadaan yang sangat penting... Dia ingin kita semua berteman dengan
Muggle... atau, tidak diragukan lagi, manusia serigala..."
Tak ada seorangpun yang tertawa kali ini. Ada kemarahan dan penghinaan dalam
suara Voldemort. Untuk ketiga kalinya, Charity Burbage berputar menatap
wajah Snape. Air mata mengalir dari matanya dan membasahi rambutnya. Snape
balas menatapnya, terlihat tenang, setenang putaran Charity yang menjauh dari
pandangannya.
“Avada Kedavra!”
Kilatan sinar hijau menerangi setiap sudut ruangan. Charity jatuh, bedebam
keras, jatuh ke atas meja, yang bergetar dan retak. Beberapa Pelahap Maut
terlonjak dari kursi mereka. Draco jatuh ke lantai.
“Makan malam, Nagini,” kata Voldemort dengan dingin, dan ular besar itu
berjalan turun dari bahunya kelantai mengkilap.
Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket

About Me

Foto Saya
Dwhieva raven peverell-pureblood
Gresik, Jawa Timur, Indonesia
ok this is simple.. my name is Eva Dwhie u can call me Eva,im from Indonesia.im 16 years old almost 17 years old :) I LOVE ALLAH I LOVE MUHAMMAD SAW I LOVE MY FAMILY I LOVE MY SELF I LOVE MY FRIEND I LOVE JUSTIN BIEBER I LOVE HARRY POTTER I LOVE U ALL
Lihat profil lengkapku

Pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.

Daftar Blog Saya

Total Tayangan Halaman

RAVENCLAW

RAVENCLAW

Royal Girl

Komentar


ShoutMix chat widget

we are best friend 4ever

Bagaimana menurut kalian tentang blog saya?