Kamis, 10 Maret 2011

PostHeaderIcon Bab 3 The Dursleys Departing KEBERANGKATAN KELUARGA DURSLEY


Suara pintu dibanting hingga bergema sampai terdengar ke lantai atas, dan
terdengar suara teriakan, “Hei! Boy!”
Sudah enam belas tahun ia terbiasa dipanggil seperti itu, sehingga Harry tahu
siapa yang dipanggil. Tapi, ia tidak bergegas untuk menjawab. Ia masih tertegun
melihat pecahan cermin, yang dalam beberapa detik yang lalu, ia berpikir telah
melihat mata Dumbledore. Hingga pamannya berteriak, ‘BOY!’ yang membuat
Harry berdiri dan berjalan menuju pintu kamarnya perlahan. Ia berhenti
sebentar dan memasukkan pecahan cermin itu ke dalam ransel yang penuh
dengan berbagai barang yang akan dibawanya.
“Nikmati waktumu selagi bisa!” teriak Vernon Dursley saat melihat Harry
muncul di puncak tangga. “Turun kemari. Aku ingin sebuah penjelasan!”
Harry berjalan menuruni tangga, tangannya berada dalam saku celana
jeansnya. Saat ia masuk ke ruang tamu, ia melihat keluarga Dursley sudah
memakai pakaian bepergian mereka. Paman Vernon memakai jaket kulit
rusanya, bibi Petuna memakai mantel berwarna salmonnya, dan Dudley, sepupu
Harry yang besar, pirang, dan berotot, memakai jaket kulitnya.
“Ya?” tanya Harry.
“Duduk!” kata paman Vernon. Harry menaikkan alisnya. “Tolong!” tambah
paman Vernon, sambil mengernyit, seakan kata yang ia ucapkan melukai
tenggorokannya.
Harry duduk. Sepertinya ia tahu apa yang akan terjadi. Pamannya mulai
memutari ruangan, Bibi Petunia dan Dudley memperhatikannya dengan cemas.
Akhirnya, dengan wajahnya yang besar dan ungu yang tengah berkonsentrasi,
paman Vernon berhenti tepat di depan Harry dan ia mulai berbicara.
“Aku berubah pikiran,” katanya.

“Mengejutkan sekali,” kata Harry.
“Jangan sekali-kali kau…” Bibi Petunia memulai pembicaraan dengan
suaranya yang melengking, tapi Vernon Dursley mengangkat tangannya,
menyuruhnya diam.
“Semua ini omong kosong,” kata paman Vernon sambil menatap Harry dengan
matanya yang kecil. “Aku telah memutuskan untuk tidak mempercayainya. Kami
akan tetap di sini dan tidak akan pergi ke mana-mana.”
Harry melihat pamannya dan merasakan campuran antara rasa jengkel dan
kagum. Vernon Dursley telah mengubah pikirannya setiap dua puluh empat
jam selama empat minggu terakhir. Berkemas, membongkarnya, dan
berkemas lagi tergantung suasana hatinya. Momen kesukaan Harry adalah
saat paman Vernon, tidak menyadari bahwa Dudley memasukkan samsak tinju
ke dalam tas, ia berusaha mengangkatnya tapi gagal dan membuatnya
terjatuh bersamaan dengan rasa sakit dan sumpah serapahnya.
“Seperti yang kau katakan,” kata paman Vernon, melanjutkan kegiatan
berjalan berputarnya, “kami, Petunia, Dudley, dan aku, sedang dalam bahaya.
Yang disebabkan oleh… oleh…”
“Oleh ’kaumku’, kan?” kata Harry.
“Oh, aku tak percaya ini,” kata paman Vernon, yang berdiri di depan Harry
lagi. “Aku terjaga semalaman memikirkan segalanya, dan menurutku kau
berencana untuk mengambil alih rumah ini.”
“Rumah?” ulang Harry. “Rumah apa?”
“Rumah ini!” teriak paman Vernon, pembuluh darah di kepalanya mulai berdenyut.
“Rumah kami! Rumah yang harganya terus meroket! Kau ingin kami pergi dan kau
akan melakukan hocus pocus-mu dan tiba-tiba tanpa sepengetahuan kami, rumah
ini sudah jadi atas namamu dan…”
“Apa kalian sudah gila?” tuntut Harry. “Rencana untuk mengambil alih
rumah? Apa kalian sebodoh tampang kalian?”
“Berani-beraninya kau…” cicit Bibi Petunia, tapi lagi-lagi Vernon membuatnya
diam.
“Apa kalian lupa,” kata Harry, “aku sudah punya, bapak baptisku memberikannya
untukku. Jadi mengapa aku menginginkan rumah ini? Karena kenangannya yang
indah?”
Semua terdiam. Harry mengira pamannya kagum dengan argumennya.
“Katamu,” kata paman Vernon, mulai berjalan memutar lagi, “masalah Lord itu…”
“Voldemort,” kata Harry tak sabar, “dan kita sudah membahasnya ratusan
kali. Dan ini bukan kataku, ini kenyataan, Dumbledore sudah mengatakannya
pada kalian, juga Kingsley, dan Tuan Weasley…”
Vernon melengkungkan bahunya dengan marah, dan Harry menebak bahwa
pamannya sedang mengingat-ingat kunjungan mendadak, saat liburan musim
panas Harry, dua orang penyihir dewasa. Kedatangan Kingsley Shacklebolt dan
Arthur Weasley ke depan pintu rumah keluarga Dursley membuatnya tidak
senang. Harry tahu, kedatangan Tuan Weasley yang terakhir menyebabkan
setengah dari ruang tamunya hancur, dan kedatangannya kembali tidak
mungkin disambut hangat oleh paman Vernon.
“… Kingsley dan tuan Weasley juga sudah menjelaskannya padamu,” kata Harry
tanpa penyesalan. “Saat aku berusia tujuh belas, mantra perlindungan yang
menjagaku akan hilang dan tak lagi melindungi aku ataupun kalian. Anggota Orde
yakin bahwa Voldemort akan menggunakanmu untuk menemukanku, atau mungkin
bila dia menjadikanmu tawanan, aku akan datang dan mencoba untuk
menyelamatkanmu.”
Mata paman Vernon dan Harry beradu. Harry yakin bahwa mereka memikirkan
hal yang sama. Lalu paman Vernon melanjutkan langkahnya dan Harry berkata,
“Kalian harus pergi untuk bersembunyi, dan anggota Orde ingin membantu.
Kalian telah ditawari perlindungan terbaik.”
Paman Vernon tidak berkata apa-apa dan tetap berjalan. Di luar, matahari
mulai turun menuju garis cakrawala. Tetangga sebelah telah selesai memangkas
rumput halamannya.
“Aku kira kalian memiliki Kementrian Sihir?” tanya paman Vernon tiba-tiba.
“Memang ada,” kata Harry, terkejut.
“Kalau begitu, mengapa mereka tidak melindungi kami? Menurutku, sebagai
korban yang tak bersalah, kami seharusnya mendapat perlindungan dari
pemerintah!”
Harry tertawa, ia tak bisa menahan dirinya sendiri. Pamannya
mengharapkan adanya peraturan, walaupun dalam dunia yang ia benci.
“Kau dengar apa yang tuan Weasley dan Kingsley katakan,” Harry mengingatkan.
“Kami pikir Kementriran telah disusupi.”
Paman Vernon berhenti di depan perapian dan menarik nafas dalam-dalam
membuat kumis hitam besarnya bergerak-gerak, dan wajahnya tetap ungu
karena berkonsentrasi.
“Baiklah,” katanya, kini ia berdiri lagi di depan Harry. “Baiklah, karena segala
alasan yang ada, kami menerima perlindungan itu. Tapi aku masih tidak mengerti mengapa kami tidak dilindungi oleh Kingsley?”
Harry tidak dapat mencegah dirinya untuk tidak memutar matanya.
Pertanyaan ini pun sudah ditanyakan berkali-kali.
“Aku kan sudah katakan,” katanya dengan gigi terkatup, “Kingsley menjaga
Perdana Menteri Mug… maksudku, Perdana Menteri kalian.”
“Benar sekali, dia yang terbaik!” kata paman Vernon, menunjuk layar TV yang
kosong. Dursley menyadari keberadaan Kingsley di berita TV, berjalan di
belakang Perdana Menteri Muggle saat melakukan kunjungan ke rumah sakit.
Dan fakta bahwa Kingsley mahir berpakaian seperti Muggle, tidak termasuk
suaranya yang pelan, dalam, dan mampu meyakinkan keluarga Dursley,
menyebabkan keluarga Dursley tidak ingin diurus oleh penyihir lain, walaupun
mereka belum pernah melihat Kingsley saat ia memakai antingnya.
“Yah, dia sudah menjaga yang lain.” Kata Harry. “Tapi Hestia Jones dan
Dedalus Diggle mampu menjaga kalian…”
“Walau kami sudah pernah lihat CVnya…” mulai paman Vernon, tapi Harry
kehilangan kesabaran. Ia berdiri, menantang pamannya, dan menunjuk layar
TV.
“Kecelakaan itu bukan kecelakaan biasa – tabrakan, ledakan, hal-hal aneh, atau
apapun yang terjadi yang kita lihat di TV. Banyak orang hilang dan meninggal,
dan dia ada di belakang semua ini – Voldemort. Aku telah mengatakan hal ini
padamu berulang kali, dia membunuh Muggle hanya untuk bersenang-senang.
Bahkan beberapa di antaranya disebabkan oleh Dementor, dan bila kau tidak
ingat apa itu, tanyakan pada anakmu!”
Dudley tersentak, tangannya menutupi mulutnya. Seluruh mata di ruangan itu
tertuju padanya, perlahan ia menurunkan tangannya dan bertanya, “Apa
mereka… ada begitu banyak?”
“Banyak?” Harry tertawa. “Lebih dari dua yang menyerang kita, maksudmu?
Tentu saja, jumlah mereka beratus-ratus banyaknya, mungkin sudah menjadi
beribu-ribu sekarang ini, melihat banyaknya hal yang menakutkan yang
terjadi…”
“Baiklah, baiklah,” potong Vernon Dursley. “Kami mengerti maksudmu…”
“Aku harap begitu,” kata Harry, “karena begitu aku berumur tujuh belas,
semuanya – Pelahap Maut, Dementor, bahkan Inferi, yang merupakan mayat
yang disihir oleh Sihir Hitam – dapat menemukanmu dan menyerangmu. Dan
bila kau ingat saat terakhir kali engkau mencoba lari dari penyihir, aku yakin
kau akan membutuhkan bantuan.”
Semuanya terdiam saat mereka mengingat suara dentuman saat Hagrid
menghancurkan pintu kayu beberapa tahun lalu. Bibi Petunia melihat paman
Vernon dan Dudley menatap Harry. Akhirnya paman Vernon berbicara, “Tapi
bagaimana dengan pekerjaanku? Bagaimana dengan sekolah Dudley? Sepertinya
hal itu tidak terpikirkan oleh penyihir seperti kalian…”
“Apa kalian tidak mengerti juga?” teriak Harry. “Mereka akan menyiksa dan
membunuh kalian seperti mereka melakukannya pada orang tuaku!”
“Ayah,” kata Dudley dengan suara keras, “Ayah – aku akan ikut dengan
orang-orang Orde.”
“Dudley,” kata Harry, “untuk pertama kalinya dalam hidupmu, kau mengatakan
hal yang masuk akal.”
Harry tahu bahwa ia telah memenangkan pertarungan. Bila Dudley cukup
ketakutan hingga ia menerima tawaran anggota Orde, orang tuanya akan
menemaninya. Tidak mungkin mereka mau berpisah dengan Diddykins. Harry
memerhatikan jam yang berada di atas perapian.
“Mereka akan tiba dalam lima menit,” katanya, dan saat tak seorang pun
membalas ucapannya, ia meninggalkan ruangan. Kemungkinan untuk berpisah dari
bibi, paman, dan sepupunya untuk selamanya, satu-satunya hal yang dapat
membuatnya senang. Tapi tetap saja ada kemungkinan lain. Apa yang akan kau
katakan pada orang yang kau benci selama enam belas tahun?
Di kamarnya, Harry menyeret ranselnya, lalu memasukkan kacang ke sangkar
Hedwig. Kacang itu jatuh begitu saja ke dasar sangkar, tanpa dipedulikan
Hedwig.
“Kita akan segera berangkat, sebentar lagi,” Harry berkata padanya. “Dan
kau dapat terbang.”
Bel pintu berbunyi. Harry ragu, namun ia tetap keluar dari kamar dan
turun. Tidak mungkin Hestia dan Dedalus dapat menghadapi keluarga
Dursley sendirian.
“Harry Potter!” seru suara yang terdengar bersemangat, begitu Harry
membuka pintu. Seorang pria kecil dengan topi ungunya langsung
membungkukkan badannya. “Sebuah kehormatan!”
“Terima kasih, Dedalus,” kata Harry, ia tersenyum malu-malu pada Hestia.
“Baik sekali kalian mau melakukan hal ini… Mereka orang-orang yang keras,
bibi, paman, dan sepupuku…”
“Selamat sore, keluarga Harry Potter!” kata Dedalus riang, ia langsung berjalan
masuk ke dalam ruang tamu. Keluarga Dursley tidak tampak gembira saat
menemui mereka.
Harry mengira pamannya akan mengubah pikirannya lagi. Dudley langsung
menempel pada ibunya begitu melihat para penyihir itu.
“Aku melihat kalian sudah siap. Bagus! Rencananya seperti yang telah Harry
katakan pada kalian,” kata Dedalus sambil memeriksa saku mantelnya. “Kita
akan berangkat sebelum Harry. Karena Harry masih di bawah umur dan belum
diizinkan untuk menggunakan sihir, hal ini akan memudahkan Kementrian untuk
menangkapnya. Kita akan berkendara sejauh kurang lebih enam belas kilo
sebelum kita bisa ber-Disapparate menuju tempat perlindungan. Kau tahu
bagaimana cara mengemudi? Atau aku yang harus melakukannya?” ia bertanya
dengan sopan pada paman Vernon.
“Tahu bagaimana cara…? Tentu saja aku tahu bagaimana cara mengemudi!” kata
paman Vernon tersinggung.
“Pintar sekali Anda, sangat pintar, aku sendiri akan kebingungan dengan semua
tombol dan kenop itu,” kata Dedalus. Jelas sekali Dedalus sedang mencoba
menyanjung Vernon Dursley.
“Tidak bisa mengemudi,” gumamnya marah membuat kumisnya bergerak-gerak.
Untung saja Dedalus dan Hestia tidak memperhatikannya.
“Sedangkan Harry,” lanjut Dedalus, “akan menunggu para pengawal. Ada
sedikit perubahan rencana…”
“Apa maksudmu?” kata Harry. “Bukankah Mad-Eye akan datang dan
membawaku ber-Apparate?”
“Tidak bisa,” jawab Hestia. “Mad-Eye akan menjelaskannya nanti.”
Keluarga Dursley, yang mendengarkan pembicaraan yang tidak mereka
mengerti, terkejut begitu mendengar suara yang berteriak keras “Cepat!”
Harry menoleh mencari sumber suara itu sebelum akhirnya sadar bahwa suara
itu berasal dari jam saku Dedalus.
“Benar juga, kita terburu waktu,” kata Dedalus, melihat jam sakunya dan
memasukkanya lagi ke dalam saku mantelnya. “Kami usahakan agar engkau
berangkat pada waktu yang bersamaan saat keluargamu ber-Apparate, karena
perlindungan akan hilang begitu kau berangkat menuju tempat perlindungan.”
Lalu ia berbicara pada keluarga Dursley, “Sudah siap?”
Tidak seorang pun menjawab. Bahkan paman Vernon masih menatap saku
mantel Dedalus.
“Mungkin kita harus menunggu di luar, Dedalus,” bisik Hestia, yang mengira akan
terjadi perpisahan penuh cinta dan air mata.
“Tidak perlu,” gumam Harry, dan paman Vernon juga tidak memberi
penjelasan, dan langsung berkata, “Baiklah, saat untuk berpisah.”
Ia menyodorkan tangan kanannya untuk menjabat tangan Harry, tapi ia berubah
pikiran di detik-detik terakhir, dan langsung mengepalkan tangannya dan
menggerakkannya maju mundur seperti metronome.
“Siap, Diddy?” tanya Bibi Petunia, sambil memeriksa tasnya sekaligus
menghindar untuk menatap Harry.
Dudley tidak menjawab, tapi berdiri dengan mulut yang mulai membuka,
mengingatkan Harry akan Grawp.
“Baiklah kalau begitu,” kata paman Vernon.
Ia telah membuka pintu saat Dudley tiba-tiba bergumam, “Aku tidak mengerti.”
“Apa yang tidak kamu mengerti, Popkin?” tanya Bibi Petunia, melihat anaknya.
Dudley mengangkat tangannya yang besar dan menunjuk Harry,
“Mengapa dia tidak pergi bersama kita?”
Paman Vernon dan Bibi Petunia berdiri membeku, memandangi Dudley heran,
seakan
mereka mendengar kalau Dudley ingin menjadi balerina.
“Apa?” kata paman Vernon.
“Mengapa dia tidak ikut?” tanya Dudley.
“Dia… dia tidak ingin,” kata paman Vernon, menatap Harry lalu menambahkan,
“Kau
tidak ingin, kan?”
“Tidak sedikit pun,” kata Harry.
“Baiklah kalau begitu,” paman Vernon berkata pada Dudley. “Sekarang, ayo
berangkat.”
Ia berjalan keluar dari ruangan. Mereka mendengar pintu depan membuka, tapi
Dudley
tidak bergerak bahkan Bibi Petunia ikut berhenti setelah mulai melangkah.
“Sekarang apa lagi?” teriak paman Vernon, muncul dari pintu depan.
Sepertinya Dudley sedang berpikir dalam gagasannya yang nampaknya tidak
mudah
diuraikan dalam kata-kata. Setelah beberapa saat kemudian, ia berkata, “Tapi,
ke mana
dia akan pergi?”
Bibi Petunia dan paman Vernon saling berpandangan. Jelas sekali Dudley telah
membuat
mereka takut. Hestia Jones memecah kesunyian.
“Tapi… kau tahu ke mana keponakanmu akan pergi, kan?” tanyanya, nampak
kebingungan.
“Tentu saja kami tahu,” kata Vernon Dursley. “Dia akan pergi ke rumah salah
satu
temanmu, kan? Ayo, Dudley, masuk ke mobil, kau dengar dia tadi, kita
terburu-buru.”
Lalu, Vernon Dursley berjalan keluar, tapi Dudley tidak mengikutinya.
Hestia tampak marah. Harry pernah mengalami hal ini, penyihir yang terpaku
melihat
bahwa keluarga terdekatnya tidak memiliki ketertarikan atas Harry Potter
yang begitu
terkenal.
“Tidak apa-apa,” Harry meyakinkan Hestia. “Bukan masalah besar.”
“Tidak apa-apa?” ulang Hestia, nada suaranya meninggi. “Apakah orang-orang
itu tidak PDF by Kang Zusi
tahu apa saja yang telah kau alami? Apakah mereka tahu bahwa engkau sedang
dalam
bahaya? Apakah mereka tahu posisimu sebagai jantung dari gerakan antiVoldemort?”
“Er… tidak, mereka tidak tahu,” kata Harry. “Mereka pikir aku hanya
buang-buang waktu, tapi aku sudah terbiasa…”
“Kau tidak sedang buang-buang waktu.”
Bila Harry tidak melihat bibir Dudley yang bergerak, mungkin ia tak akan
percaya. Ia menatap Dudley selama beberapa detik sebelum sadar bahwa
sepupunya baru saja berbicara. Tiba-tiba muka Dudley berubah merah. Tibatiba Harry merasa malu dan terpesona.
“Yah… er… terima kasih, Dudley.”
Lalu, Dudley nampak sibuk sendiri dengan pikirannya, lalu tiba-tiba
menggumam, “Kau telah menyelamatkan nyawaku.”
“Tidak juga,” kata Harry. “Dementor mencoba menyedot jiwamu…”
Harry menatap sepupunya penuh dengan rasa ingin tahu. Selama musim panas
ini dan musim panas lalu mereka tidak sekali pun saling berbicara, karena Harry
memang selalu berada di kamarnya. Ini merupakan awal bagi Harry. Mungkin,
cangkir teh tadi pagi bukan sekadar jebakan belaka. Walau merasa sedikit
tersentuh, ia tetap saja merasa senang saat melihat Dudley berusaha setengah
mati saat mengungkapkan perasaannya. Setelah membuka mulutnya satu dua
kali, Dudley memutuskan untuk tetap diam.
Bibi Petunia tiba-tiba menangis. Hestia Jones yang awalnya tersentuh kembali
marah saat Bibi Petunia datang dan memeluk Dudley, bukannya pada Harry.
“Ma-manis sekali, Dudders…” isaknya di dada Duddley, “Su-sungguh anak baik…
memengucapkan terima kasih…”
“Tapi dia tidak mengucapkan terima kasih sama sekali!” kata Hestia marah.
“Dia hanya bilang bahwa Harry tidak buang-buang waktu!”
“Yah, tapi bila itu berasal dari Dudley, itu bisa saja berarti “aku cinta
padamu”,” kata Harry membuat Bibi Petunia antara merasa terganggu dan
ingin tertawa. Bibi Petunia memeluk Dudley seakan ia baru saja
menyelamatkan Harry dari gedung yang terbakar.
“Kita berangkat tidak?” teriak paman Vernon yang sudah muncul lagi di
ruang tamu. “Aku kira kita punya sedang diburu waktu!”
“Ya, ya, tentu saja,” kata Dedalus Diggle yang sedang terkagum-kagum melihat
apa yang terjadi. Tapi ia memaksakan diri, “Kami harus berangkat, Harry…”
Dedalus melangkah maju dan menjabat tangan Harry dengan kedua tangannya.
“… semoga beruntung. Semoga kita berjumpa lagi. Nasib dunia sihir
berada di pundakmu.”
“Oh,” kata Harry “iya. Terima kasih.”
“Hati-hati Harry,” kata Hestia, yang juga menjabat tangannya. “Kami selalu
bersamamu.”
“Semoga semuanya akan baik-baik saja,” kata Harry sambil memandang ke
arah Bibi Petunia dan Dudley.
“Oh, aku yakin kami akan baik-baik saja,” kata Diggle riang, melambaikan
topinya saat meninggalkan ruangan. Hestia mengikutinya.
Perlahan Dudley melepaskan diri dari pelukan ibunya dan berjalan mendekati
Harry, lalu menyodorkan tangannya yang besar.
“Ya ampun, Dudley,” kata Harry, “apakah Dementor mengubah kepribadianmu?”
“Entahlah,” kata Dudley. “Sampai jumpa, Harry.”
“Yah…” kata Harry, yang kemudian menyambut tangan Dudley dan
menjabatnya. “Mungkin. Hati-hati, Big D.”
Dudley tersenyum tipis, lalu berlalu meninggalkan ruangan. Harry dapat
mendengar langkah beratnya menuju mobil, dan terdengar suara pintu
ditutup.
Bibi Petunia yang menutupi wajahnya dengan saputangan, tidak menyangka
hanya ia yang tertinggal sendiri bersama Harry. Ia langsung memasukkan
saputangannya yang basah ke dalam tas dan berkata, “Baiklah, sampai
jumpa,” dan ia berjalan keluar tanpa mau melihat Harry.
“Sampai jumpa,” kata Harry.
Ia berhenti dan menoleh. Untuk beberapa saat Harry merasakan perasaan
teraneh saat melihat bibinya menatap dirinya, wajah bibinya tampak aneh
dan gemetar, dan tampaknya ia akan mengatakan sesuatu, tapi ia
menggelengkan kepalanya dan segera meninggalkan ruangan mengikuti suami
dan anaknya.

0 komentar:

Posting Komentar

Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket

About Me

Foto Saya
Dwhieva raven peverell-pureblood
Gresik, Jawa Timur, Indonesia
ok this is simple.. my name is Eva Dwhie u can call me Eva,im from Indonesia.im 16 years old almost 17 years old :) I LOVE ALLAH I LOVE MUHAMMAD SAW I LOVE MY FAMILY I LOVE MY SELF I LOVE MY FRIEND I LOVE JUSTIN BIEBER I LOVE HARRY POTTER I LOVE U ALL
Lihat profil lengkapku

Pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.

Daftar Blog Saya

Total Tayangan Halaman

RAVENCLAW

RAVENCLAW

Royal Girl

Komentar


ShoutMix chat widget

we are best friend 4ever

Bagaimana menurut kalian tentang blog saya?